Kabut malam menyelimuti kota, membungkus bangunan tua dan jalanan
sempit dengan kesunyian yang mencekam. Di sebuah ruangan dengan
dinding berlapis buku tebal, Adrian Mirza duduk terdiam, matanya
terpaku pada buku catatan di depannya. Ruangan itu dipenuhi aroma
kopi basi dan debu, menunjukkan bahwa pemiliknya jarang
meninggalkan tempat itu. Di atas meja kayu berukir, berkas-berkas
dan laporan-laporan berserakan, sebagian besar berkaitan dengan
kasus yang tidak pernah bisa dia lupakan.
Sebuah foto hitam-putih tergeletak di antara catatan—wajah seorang
pria yang tersenyum, tetapi matanya tampak kosong. Pria itu adalah
pasien terakhir Adrian sebelum semuanya berubah.
Adrian menutup matanya sejenak, mencoba menghalau kenangan yang
datang menerobos. Pasien itu telah meninggal tiga tahun lalu,
dengan cara yang misterius, namun bayangannya masih menghantui
setiap pikirannya.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan di pintu mengusik keheningan.
Adrian membuka mata dan memutar kursinya perlahan.
“Masuk,” suaranya terdengar serak, sisa dari malam-malam panjang
tanpa tidur.
Pintu terbuka, memperlihatkan Julia Ramirez, sosok yang kontras
dengan Adrian. Rambut hitamnya diikat ketat, jaket kulitnya
memancarkan kesan bahwa dia lebih nyaman di jalanan ketimbang di
ruangan yang penuh kertas. Tatapannya tajam, penuh semangat dan
keingintahuan yang tak pernah pudar.
"Adrian," sapanya singkat, langsung menuju topik tanpa basa-basi.
“Kita dapat laporan baru.”
Adrian menghela napas, lalu berdiri dari kursinya. Dia sudah
terbiasa dengan cara Julia yang langsung to the point, meskipun
terkadang, dia berharap Julia bisa sedikit lebih sabar.
“Kasus apa kali ini?” tanya Adrian, mengambil mantelnya yang
tergantung di sisi ruangan.
Julia melemparkan berkas ke meja Adrian. “Pembunuhan. Dan anehnya,
seperti kasus pasienmu dulu.”
Adrian tertegun sejenak, matanya bergerak cepat dari wajah Julia
ke berkas yang dilemparkan. Ada sesuatu yang berbeda dalam
nadanya, sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang
dari biasanya. Dia mengambil berkas itu dengan tangan yang sedikit
gemetar, membuka halaman pertama.
“Mayat ditemukan di apartemen tua. Tidak ada tanda-tanda
perlawanan, tidak ada saksi, tapi ada sesuatu yang aneh pada
kondisi tubuhnya.” Julia berhenti sejenak, memperhatikan reaksi
Adrian. “Seperti dia sudah menyerah jauh sebelum dia benar-benar
mati.”
Adrian memandangi laporan itu dengan saksama. Deskripsi luka-luka,
keterangan lokasi, semuanya terlihat seperti kasus yang telah
menghantui hidupnya selama tiga tahun. Dia merasa perutnya
terpelintir, dan udara di ruangan itu tiba-tiba terasa semakin
berat.
"Ini tidak mungkin," gumam Adrian dengan suara rendah, hampir
tidak terdengar.
"Tapi ini nyata, Adrian. Dan kita harus menemukan jawabannya."
Adrian mengangguk perlahan. Wajah pasiennya kembali berkelebat di
pikirannya. Dia belum pernah menemukan kedamaian sejak saat itu,
dan sekarang, bayangan itu kembali menyergapnya.
"Kita harus ke tempat kejadian sekarang," ucapnya, mencoba
menenangkan pikirannya. "Aku perlu melihatnya sendiri."
Julia tersenyum tipis, mengerti bahwa Adrian sudah terbiasa
tenggelam dalam pikirannya yang dalam. "Ayo. Kita akan bawa
mobilku. Aku sudah menyiapkan semuanya."
Mereka berdua meninggalkan ruangan yang dipenuhi kabut dari masa
lalu, dan menuju malam yang lebih gelap di luar sana—di mana
misteri baru menunggu mereka. Satu langkah keluar dari pintu,
Adrian merasakan bahwa dia mungkin tidak hanya mengejar jawaban
atas kasus ini, tetapi juga jawaban untuk dirinya sendiri.
Dalam perjalanan ke tempat kejadian, mobil Julia melaju cepat
melalui jalan-jalan kota yang basah. Adrian duduk diam di
sampingnya, matanya terpaku pada jalanan yang berlalu, tetapi
pikirannya melayang ke arah lain. Bayangan pasiennya terus bermain
di sudut pikirannya, membuatnya semakin gelisah.
“Kau baik-baik saja?” Julia bertanya, memecah keheningan di antara
mereka.
Adrian tersentak dari lamunannya. “Aku hanya... merasa aneh dengan
ini. Terlalu mirip.”
Julia tidak menoleh, tetapi suaranya lebih lembut. “Aku tahu.
Itulah kenapa aku datang kepadamu. Aku pikir, ini lebih dari
sekadar kebetulan.”
Adrian mendesah. "Kita lihat saja nanti. Tapi jika memang ini
terhubung..." Dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Ada sesuatu yang
jauh lebih besar daripada kasus ini, sesuatu yang belum dia
ketahui, tapi dia bisa merasakannya di balik kabut misteri.
Setibanya di apartemen, mereka disambut oleh pita kuning polisi
yang membatasi area tersebut. Petugas yang berjaga memberi mereka
izin masuk setelah Julia menunjukkan lencana. Di dalam, ruangan
itu terasa dingin meskipun jendela-jendela tertutup. Perabotan tua
yang berserakan di sekitar mereka memberikan kesan bahwa tempat
ini sudah lama tidak dihuni dengan benar.
Mayat korban sudah dibawa pergi, tetapi jejak terakhir
kehidupannya masih terlihat jelas di ruangan itu—terutama di atas
meja kecil di sudut ruangan. Sebuah buku terbuka,
halaman-halamannya dipenuhi tulisan yang tidak beraturan.
Adrian mendekati meja itu. Tangannya meraih buku itu dengan
hati-hati, memperhatikan setiap kalimat yang tercetak dengan tinta
yang hampir pudar.
“Mereka menontonku. Aku bisa mendengar mereka di balik dinding.”
Adrian merasakan bulu kuduknya berdiri. Kata-kata itu
mengingatkannya pada sesuatu, pada sesi terakhir dengan pasiennya
yang meninggal tiga tahun lalu. Pasien itu juga berbicara tentang
suara-suara yang tidak bisa didengar orang lain.
Julia mendekat, melihat reaksi Adrian. “Ada yang salah?”
Adrian menatap buku itu dengan tatapan kosong, suaranya berbisik,
“Ini... bukan kebetulan.”
Di luar apartemen yang dingin dan tidak berpenghuni, malam semakin
larut. Adrian dan Julia kembali ke mobil, suasana menjadi lebih
berat setelah penemuan buku yang penuh dengan tulisan yang
mengganggu. Mereka duduk dalam keheningan, masing-masing sibuk
dengan pikiran mereka sendiri.
Julia menyalakan mesin mobil dan memandang Adrian sekilas. “Apa
yang kamu pikirkan tentang buku itu?”
Adrian memandang ke luar jendela, matanya meneliti jalanan yang
kosong. “Ada sesuatu yang sangat familiar tentang tulisan itu,”
jawabnya dengan suara yang serak. “Mungkin ini hanya perasaan
saya, tapi sepertinya ada hubungan antara kasus ini dan apa yang
terjadi dengan pasien saya dulu.”
Julia mengangguk, menatap jalanan yang remang-remang. “Kita perlu
mencari tahu lebih lanjut tentang buku itu. Siapa penulisnya? Apa
yang dia coba sampaikan dengan pesan itu?”
Adrian mengangguk, setuju. “Dan kita juga harus memeriksa latar
belakang korban. Mungkin dia memiliki koneksi dengan pasien saya
atau dengan Dr. Edelstein.”
Setibanya di kantor, Julia dan Adrian segera bergegas menuju ruang
penyimpanan bukti. Julia membuka berkas-berkas kasus dan mulai
memeriksa informasi latar belakang korban, sementara Adrian
merenung sambil memegang salinan buku yang mereka temukan.
“Sesuai laporan, korban bernama Robert Blackwell,” Julia berkata
sambil membaca berkas. “Dia adalah seorang penulis freelance yang
cukup terkenal di kalangan pembaca thriller. Namun, tidak ada
catatan tentang kehidupan pribadinya yang mencolok. Mungkin kita
perlu mencari tahu lebih banyak tentang lingkungan sosialnya.”
Adrian membuka salinan buku dan mengamati tulisan tangan di
dalamnya. “Tulisan ini tampaknya bukan hanya sekadar keluhan
biasa. Ada pola atau struktur yang menunjukkan bahwa penulis
mengalami sesuatu yang sangat dalam dan intens. Dan
kata-katanya—‘mereka menontonku’—ini mirip dengan apa yang pasien
saya katakan sebelum dia meninggal.”
Julia melihat Adrian dengan tatapan prihatin. “Apakah kamu yakin
ini ada hubungannya dengan pasienmu?”
Adrian menatapnya dengan serius. “Saya tidak bisa menjelaskan
mengapa saya merasa demikian, tetapi ada sesuatu yang sangat salah
di sini. Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang apa yang
sebenarnya terjadi pada pasien saya.”
Pagi berikutnya, Adrian mengunjungi kantor Dr. Markus Edelstein.
Meskipun Dr. Edelstein dikenal sebagai psikiater terkenal, Adrian
merasa tidak nyaman dengan pertemuan ini. Ada sesuatu yang terasa
tidak beres sejak awal mengenai Dr. Edelstein dan
metode-metodenya.
Dr. Edelstein menyambut Adrian dengan senyum ramah yang hampir
terlalu sempurna. “Adrian, apa kabar? Apa yang bisa saya bantu?”
Adrian memaksa dirinya untuk tersenyum. “Terima kasih, Dr.
Edelstein. Saya hanya ingin berdiskusi tentang beberapa hal. Kami
baru saja menangani kasus pembunuhan yang sangat mirip dengan
kasus pasien saya yang meninggal tiga tahun lalu. Saya ingin tahu
apakah Anda mengetahui sesuatu tentang Robert Blackwell.”
Wajah Dr. Edelstein tampak sedikit terkejut, tetapi ia cepat
mengembalikan ekspresi santainya. “Robert Blackwell, tentu. Saya
tahu sedikit tentang dia. Dia adalah seorang penulis yang menarik,
tetapi tidak ada yang luar biasa tentangnya dari sudut pandang
psikologis.”
Adrian memperhatikan bahwa Dr. Edelstein tidak tampak terlalu
terbuka tentang topik itu. “Apakah Anda pernah mendengar tentang
teknik terapi atau eksperimen psikologis yang mungkin dia
lakukan?”
Dr. Edelstein tersenyum tipis. “Saya tidak tahu apa-apa tentang
eksperimen atau teknik yang tidak konvensional. Namun, saya bisa
membantu Anda jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut atau
membutuhkan informasi tambahan.”
Adrian merasa curiga tetapi tidak bisa mengungkapkan perasaannya
lebih lanjut. “Terima kasih, Dr. Edelstein. Saya akan menghubungi
Anda jika kami membutuhkan informasi lebih lanjut.”
Setelah meninggalkan kantor Dr. Edelstein, Adrian merasa semakin
yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Dia kembali ke mobil
dan mengambil ponselnya untuk menghubungi Julia.
“Julia, kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang teknik-teknik
yang digunakan Dr. Edelstein. Ada sesuatu yang tidak beres dengan
dia,” kata Adrian saat Julia menjawab teleponnya.
Julia mengangguk dari ujung telepon. “Aku setuju. Aku akan mulai
menyelidiki latar belakangnya lebih dalam. Sementara itu, coba
periksa catatan lama Robert Blackwell. Mungkin kita bisa menemukan
petunjuk tambahan.”
Adrian mematikan telepon dan menatap jalanan yang berlalu. Dia
merasa seolah sedang melangkah ke dalam kegelapan yang lebih
dalam, namun dorongan untuk mengungkap kebenaran membuatnya tetap
maju.
Saat matahari terbenam, Adrian dan Julia berkumpul kembali di
kantor polisi untuk membahas temuan terbaru mereka. Julia memegang
sejumlah dokumen dan catatan yang dia kumpulkan tentang Dr.
Edelstein, sementara Adrian memeriksa catatan lama Robert
Blackwell.
“Ini dia,” kata Julia, meletakkan dokumen di meja. “Aku menemukan
beberapa laporan tentang teknik terapi eksperimental yang
dilakukan oleh Dr. Edelstein. Ini termasuk beberapa eksperimen
yang sepertinya tidak sesuai dengan standar etika umum.”
Adrian membalik-balik catatan, matanya melewati detail yang
mengganggu. “Ini sangat mengkhawatirkan. Apakah ada koneksi
langsung antara teknik-teknik ini dan pasien saya?”
“Belum ada yang pasti,” jawab Julia, “tapi kita perlu menyelidiki
lebih lanjut. Mungkin ada sesuatu di sini yang menghubungkan semua
ini.”
Adrian merasakan suasana di sekelilingnya semakin berat. “Kita
perlu melakukan penyelidikan mendalam ke dalam semua ini. Jika ada
sesuatu yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, kita harus
menemukannya sebelum terlambat.”
Dengan tekad baru, mereka melanjutkan penyelidikan mereka, semakin
dalam ke dalam kegelapan yang menunggu mereka di ujung terowongan.
Hari berikutnya, udara pagi yang dingin menyapa Adrian dan Julia
saat mereka memasuki kantor polisi. Mereka menuju ruang
penyelidikan, di mana tumpukan berkas dan laporan menunggu mereka.
Suasana di kantor terasa tegang, dengan para detektif dan petugas
lain yang bekerja keras untuk menangani berbagai kasus yang
menumpuk.
Julia meletakkan dokumen yang baru saja dia peroleh di meja,
sementara Adrian mengeluarkan salinan buku dari saku mantelnya.
“Kita harus menyelidiki latar belakang Blackwell lebih dalam.
Mungkin ada sesuatu di luar pekerjaan profesionalnya yang bisa
memberi kita petunjuk.”
Julia mengangguk. “Baik, aku akan menghubungi beberapa kontak di
dunia literasi untuk mengetahui lebih lanjut tentang Blackwell dan
hubungan sosialnya. Sementara itu, kamu bisa memeriksa arsip
lama.”
Adrian setuju dan mulai membuka berkas-berkas arsip di meja
penyelidikan. Dia memeriksa laporan-laporan kasus serupa yang
mungkin memiliki kesamaan dengan kasus Blackwell. Salah satu
laporan menarik perhatiannya—kasus serupa yang terjadi beberapa
tahun lalu dengan pola yang mirip, termasuk metode pembunuhan dan
detail yang tidak biasa.
“Lihat ini,” kata Adrian, menunjuk pada laporan di hadapan Julia.
“Ini adalah kasus pembunuhan dari tiga tahun lalu. Metode
pembunuhan dan ciri-ciri korban sangat mirip dengan yang kita
hadapi sekarang.”
Julia membaca laporan dengan seksama. “Ini tampaknya memiliki pola
yang sama. Namun, apakah ada koneksi antara kasus ini dan Robert
Blackwell?”
Adrian berpikir sejenak. “Mungkin kita perlu mencari tahu lebih
lanjut tentang siapa yang terlibat dalam kasus ini. Jika ada
hubungan antara Dr. Edelstein dan kasus sebelumnya, kita mungkin
bisa menemukan pola yang lebih jelas.”
Sementara itu, Julia menghubungi kontaknya di dunia literasi dan
menemukan beberapa informasi menarik tentang Robert Blackwell.
Ternyata, Blackwell memiliki beberapa rekan penulis yang dekat
dengannya, termasuk seseorang bernama Helen Ashford, yang dikenal
sebagai seorang penulis thriller dengan reputasi yang agak
misterius.
“Adrian, aku mendapatkan informasi yang mungkin berguna. Blackwell
memiliki beberapa rekan penulis, dan salah satunya adalah Helen
Ashford,” kata Julia, meletakkan teleponnya. “Mungkin kita perlu
berbicara dengannya untuk mengetahui lebih lanjut tentang
Blackwell.”
Adrian mengangguk. “Kita harus melakukannya. Tapi terlebih dahulu,
mari kita coba melacak kontak dari kasus sebelumnya. Ada beberapa
nama yang mungkin berhubungan dengan kasus Blackwell.”
Keduanya mulai memeriksa lebih lanjut tentang kontak dan saksi
dari kasus yang mirip. Mereka menemukan nama-nama yang mungkin
memiliki koneksi dengan Blackwell atau Dr. Edelstein, dan mulai
menyusun daftar orang-orang yang harus diwawancarai.
Sore hari, Adrian dan Julia tiba di rumah Helen Ashford. Rumahnya
adalah sebuah vila tua yang terletak di pinggiran kota,
dikelilingi oleh taman yang luas dan penuh dengan pohon-pohon
besar. Tampak bahwa Helen Ashford adalah seseorang yang suka
menjaga privasi.
Julia mengetuk pintu dan menunggu dengan sabar. Setelah beberapa
menit, pintu terbuka, dan seorang wanita tua dengan rambut abu-abu
panjang dan mata tajam menyambut mereka. Helen Ashford memandang
mereka dengan rasa ingin tahu.
“Selamat sore, apakah ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan
nada ramah namun hati-hati.
Adrian memperkenalkan diri. “Kami dari kepolisian. Kami ingin
berbicara dengan Anda mengenai Robert Blackwell. Kami sedang
menyelidiki kasus kematiannya dan mendapatkan informasi bahwa Anda
pernah bekerja bersamanya.”
Helen mengerutkan dahi. “Robert Blackwell, ya? Kami memang pernah
bekerja bersama, tapi itu sudah lama sekali. Apa yang ingin Anda
ketahui?”
Julia menjelaskan tujuan mereka dan memberikan salinan laporan
kematian Blackwell serta beberapa detail tentang kasus yang mirip.
Helen memeriksa dokumen dengan seksama, lalu menatap mereka dengan
ekspresi campur aduk.
“Robert adalah seorang penulis yang berbakat, tetapi dia memiliki
sisi yang sangat tertutup. Dia selalu tampak tertekan, dan
terkadang berbicara tentang hal-hal yang aneh. Dia menghindari
publikasi tentang beberapa tulisannya,” kata Helen, terlihat
merenung.
Adrian menatap Helen dengan intens. “Apakah ada sesuatu yang
khusus yang Anda ingat tentang tingkah laku atau perilaku Robert
yang mungkin bisa membantu kami?”
Helen menghela napas, tampak berpikir keras. “Ada satu hal. Robert
pernah berbicara tentang proyek rahasia yang dia kerjakan. Dia
tidak pernah menjelaskan secara rinci, tapi dia sepertinya merasa
terancam oleh sesuatu. Dia mengatakan bahwa dia sedang meneliti
sesuatu yang sangat berbahaya.”
Julia menatap Adrian, lalu kembali ke Helen. “Bisakah Anda memberi
tahu kami lebih banyak tentang proyek tersebut atau siapa yang
mungkin terlibat?”
Helen menggelengkan kepala. “Maaf, saya tidak tahu banyak. Tapi
saya mendengar dia menyebut nama Dr. Edelstein beberapa kali.
Mungkin dia tahu lebih banyak tentang apa yang Robert lakukan.”
Adrian merasa seolah sepotong teka-teki baru telah terpasang.
“Terima kasih, Helen. Kami akan menghubungi Dr. Edelstein lagi.”
Kembali di kantor polisi, Adrian dan Julia menganalisis informasi
baru yang mereka peroleh. Koneksi antara Robert Blackwell dan Dr.
Edelstein semakin jelas, dan mereka memutuskan untuk kembali
mengunjungi Dr. Edelstein dengan pertanyaan baru.
“Sebelum kita pergi,” kata Julia, memandang Adrian, “kita harus
memastikan semua informasi yang kita kumpulkan sudah lengkap dan
jelas. Ini bisa jadi kunci untuk membuka semua misteri yang ada.”
Adrian mengangguk, mengerti betapa pentingnya langkah-langkah
berikutnya. “Kita akan menghadapi Dr. Edelstein lagi. Kali ini,
kita harus lebih hati-hati dan siap dengan pertanyaan yang lebih
mendalam.”
Dengan tekad baru, mereka melanjutkan penyelidikan mereka,
mendekati jawaban yang semakin membingungkan namun juga semakin
mendalam.
Adrian duduk di ruangannya, memeriksa catatan yang telah ia buat
setelah pertemuan dengan Helen Ashford. Pikirannya terus berputar,
merenungkan keterkaitan antara Blackwell, Dr. Edelstein, dan kasus
yang sama tiga tahun lalu dari pasiennya. Ada pola tersembunyi
yang perlahan mulai terungkap, namun semuanya masih samar.
Suara langkah kaki terdengar mendekat, dan Julia masuk ke ruangan
dengan ekspresi serius. “Aku baru saja mendapat informasi dari
kontakku,” katanya sambil meletakkan map tebal di meja. “Ada
sesuatu yang janggal dengan beberapa penulis rekan Blackwell.
Seorang penulis bernama Thomas Huxley juga mengalami kejadian aneh
beberapa tahun lalu. Dia selamat, tapi sejak saat itu dia berhenti
menulis.”
Adrian mengangkat alisnya. “Kejadian aneh? Apa yang terjadi?”
Julia membuka map tersebut dan mengeluarkan beberapa dokumen.
“Tidak ada laporan resmi, tapi kabarnya Huxley mengalami gangguan
mental setelah bekerja sama dengan Blackwell dalam proyek rahasia.
Dia mulai berbicara tentang suara-suara dan bayangan yang
menghantui pikirannya.”
Adrian menyandarkan tubuhnya di kursi, mendengarkan dengan penuh
perhatian. “Kita mungkin menemukan pola. Blackwell, Dr. Edelstein,
Huxley… semuanya terhubung melalui sesuatu yang lebih dalam dari
sekadar tulisan.”
“Proyek rahasia yang disebut-sebut oleh Helen,” lanjut Julia.
“Kita harus menggali lebih dalam tentang proyek itu. Mungkin Dr.
Edelstein memiliki jawabannya, tapi aku merasa dia tidak akan
mengungkapkan semuanya dengan mudah.”
Adrian bangkit dari kursinya. “Kalau begitu, kita perlu
menghadapinya lagi. Kali ini, kita harus menekan dia lebih keras.”
Beberapa jam kemudian, Adrian dan Julia kembali ke rumah mewah Dr.
Edelstein. Suasana rumahnya masih sama seperti sebelumnya—tenang
dan terpencil, dengan keheningan yang hampir memekakkan telinga.
Mereka disambut oleh pelayan yang mempersilakan mereka masuk,
mengarahkan mereka ke ruang tamu yang besar dan megah.
Dr. Edelstein, dengan pakaian formal seperti biasanya, duduk di
kursi besar dengan tongkatnya di tangan. Matanya yang tajam
memperhatikan kedatangan Adrian dan Julia dengan ketenangan yang
terkesan mengintimidasi.
“Ada perkembangan apa yang membuat kalian kembali ke sini?” tanya
Dr. Edelstein dengan nada datar, meskipun ada sedikit rasa ingin
tahu dalam suaranya.
Adrian melangkah maju. “Kami telah menemukan beberapa informasi
tentang Blackwell dan proyek yang kalian kerjakan bersama. Kami
juga mendengar tentang Thomas Huxley, yang tampaknya mengalami hal
yang sama.”
Dr. Edelstein mengerutkan kening, tapi masih mempertahankan
ketenangannya. “Huxley… dia adalah orang yang rapuh. Tidak
mengherankan jika dia tidak bisa menangani tekanan dalam pekerjaan
ini.”
Julia menatap tajam. “Apa yang sebenarnya kalian kerjakan? Ini
bukan sekadar buku, bukan?”
Dr. Edelstein tersenyum tipis, lalu bangkit perlahan dari kursinya
dengan bantuan tongkatnya. “Kalian benar, ini lebih dari sekadar
buku. Apa yang kami lakukan… adalah eksplorasi mendalam tentang
batas-batas pikiran manusia. Blackwell adalah seorang jenius, tapi
dia juga terlalu ambisius. Dia ingin memahami hal-hal yang
seharusnya tidak pernah diungkap.”
Adrian mempersempit pandangannya. “Dan Anda ikut serta dalam
ambisi itu?”
Dr. Edelstein menatap keluar jendela, seolah-olah merenung. “Aku
hanya penasaran. Kami semua, dalam beberapa cara, terjebak dalam
misteri yang lebih besar dari yang bisa kalian bayangkan. Kalian
hanya melihat permukaan. Jika kalian menggali lebih dalam, kalian
mungkin tidak suka dengan apa yang kalian temukan.”
Ada ketegangan di udara saat kata-kata Dr. Edelstein menggantung
di ruangan. Adrian dan Julia saling bertukar pandang, lalu Adrian
memutuskan untuk mengambil langkah berikutnya.
“Kami tidak takut dengan kebenaran, Dr. Edelstein. Apa yang Anda
ketahui tentang kematian Blackwell?”
Dr. Edelstein menoleh kembali ke mereka, dengan mata yang tampak
lelah namun penuh rahasia. “Kematian Blackwell bukanlah
kecelakaan. Dia menyadari terlalu banyak hal dan itu membunuhnya.”
Julia mendekatkan diri. “Maksud Anda, dia dibunuh?”
Dr. Edelstein tersenyum samar. “Bukan oleh tangan manusia.
Kadang-kadang, kebenaran itu sendiri bisa menjadi pembunuh yang
paling kejam.”
Ketika mereka meninggalkan rumah Dr. Edelstein, Adrian merasa
lebih banyak pertanyaan daripada jawaban yang mereka peroleh. Tapi
satu hal pasti—ada sesuatu yang jauh lebih besar yang bermain di
balik layar. Sesuatu yang melibatkan batasan pikiran, dan
kemungkinan besar, realitas yang lebih gelap.
“Kita harus menemukan Huxley,” kata Adrian sambil berjalan di
samping Julia. “Dia mungkin satu-satunya yang tahu apa yang
sebenarnya terjadi sebelum semuanya hancur.”
Julia mengangguk setuju. “Ya, tapi kita harus berhati-hati. Jika
kita semakin dekat dengan kebenaran, semakin besar pula
risikonya.”
Adrian tidak menjawab. Dia hanya menatap jauh ke depan, ke dalam
kegelapan yang tampaknya semakin mendekat.
Malam sudah larut ketika Adrian dan Julia kembali ke apartemen
Adrian, yang sekaligus menjadi markas kecil mereka untuk
penyelidikan. Heningnya ruangan terasa kontras dengan gemuruh di
pikiran Adrian. Ia duduk di kursinya, memandang keluar jendela,
sementara Julia berjalan gelisah di sekitar ruangan.
“Kita semakin mendekat,” kata Julia, memecah keheningan. “Tapi
kenapa aku merasa semuanya semakin kabur?”
Adrian tetap terdiam, matanya yang gelap menatap jauh ke dalam
kegelapan kota di bawah. “Kita menghadapi sesuatu yang lebih dari
sekadar pembunuhan atau kejahatan biasa. Ada sesuatu yang mengikat
semua ini—Blackwell, Dr. Edelstein, Huxley. Seolah-olah mereka
semua terhubung oleh sebuah rahasia yang menggerogoti mereka dari
dalam.”
Julia berhenti dan memandang Adrian dengan tajam. “Kau benar. Tapi
bagaimana kita mengungkapnya? Dr. Edelstein sudah jelas tidak akan
memberikan semuanya. Dia menyembunyikan sesuatu yang lebih besar.”
Adrian akhirnya menoleh, tatapan matanya tajam. “Mungkin
jawabannya ada pada Huxley. Dia adalah satu-satunya yang selamat
dari lingkaran Blackwell. Jika kita bisa menemukan dan berbicara
dengannya, mungkin kita bisa mulai merangkai potongan-potongan
ini.”
Julia mengangguk setuju. “Aku akan cari tahu di mana dia berada.
Kontakku mungkin bisa membantu kita.” Sambil berdiri dan mengambil
jaketnya.
Adrian menambahkan, “Kita harus bergerak cepat. Sesuatu
memberitahuku bahwa kita tidak sendirian dalam mencari kebenaran
ini.”
Pagi hari berikutnya, Julia membawa kabar baik. “Aku menemukannya.
Thomas Huxley sekarang tinggal di sebuah rumah tua di pinggiran
kota. Setelah kejadian bersama Blackwell, dia menarik diri dari
kehidupan publik.”
Adrian mempersiapkan diri dengan cepat. “Kita harus segera pergi
ke sana. Jika dia tahu sesuatu, kita tidak boleh kehilangan
kesempatan.”
Mereka menuju ke lokasi yang Julia temukan. Perjalanan ke rumah
Huxley terasa semakin suram seiring mereka menjauh dari keramaian
kota. Rumah yang mereka tuju tampak terpencil, terletak di atas
bukit yang dikelilingi hutan yang lebat. Hanya ada satu jalan
berkelok-kelok menuju ke sana.
Setibanya di depan rumah, bangunan itu terlihat tua dan usang,
seolah-olah telah lama ditinggalkan oleh waktu. Halamannya
dipenuhi daun-daun kering yang berguguran, dan cat di dinding
rumah tampak mengelupas. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
“Tempat ini memberikan suasana aneh,” gumam Julia.
Adrian mengetuk pintu kayu besar itu, dan beberapa saat kemudian,
terdengar suara langkah kaki dari dalam. Pintu terbuka sedikit,
memperlihatkan seorang pria dengan rambut kusut dan mata yang
penuh kecemasan. Itu adalah Thomas Huxley, meskipun dia tampak
jauh lebih tua dari yang diperkirakan.
“Apa yang kalian inginkan?” suaranya terdengar kasar, nyaris penuh
ketakutan.
“Kami bukan musuhmu,” kata Adrian dengan nada menenangkan. “Kami
ingin berbicara tentang Blackwell. Kami tahu Anda bekerja
dengannya.”
Wajah Huxley tiba-tiba memucat, dan dia hampir menutup pintu,
tetapi Adrian cepat menahan. “Kami hanya ingin tahu kebenaran.
Kami tahu Blackwell menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang
membuatnya kehilangan nyawanya. Jika Anda tahu apa yang terjadi,
kami bisa membantu.”
Huxley terdiam beberapa saat, lalu dengan enggan membuka pintu
lebih lebar. “Masuklah. Tapi aku tidak yakin kalian akan menyukai
apa yang akan kalian dengar.”
Di dalam rumah, ruangan itu tampak berantakan, dipenuhi dengan
kertas, buku, dan peralatan tulis yang berserakan di meja dan
lantai. Huxley menuntun mereka ke ruang tamu yang suram, lalu
duduk dengan lelah di kursi tua.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Huxley?” tanya Adrian tanpa
basa-basi. “Apa yang kalian temukan bersama Blackwell?”
Huxley menggosok wajahnya dengan kedua tangannya, lalu menghela
napas panjang. “Kami... kami terlalu jauh. Apa yang Blackwell coba
lakukan bukanlah sekadar menulis. Dia mencoba membuka pintu...
pintu ke sesuatu yang lebih dari sekadar kenyataan yang kita tahu.
Dan dia berhasil.”
Julia mengerutkan dahi. “Pintu? Maksudmu... ini semacam metafora?”
Huxley menggeleng dengan putus asa. “Tidak, bukan metafora. Kami
membuka pintu ke sesuatu yang seharusnya tidak pernah dibuka.
Sesuatu yang berada di luar batasan pemahaman kita.”
Adrian merasakan bulu kuduknya meremang. “Apa yang ada di balik
pintu itu?”
Huxley menatap mereka dengan mata yang dipenuhi ketakutan.
“Kegelapan. Dan di dalam kegelapan itu, ada suara-suara...
bayangan yang merayap di tepi pikiran kami. Blackwell terobsesi.
Dia pikir dia bisa mengendalikan apa yang dia temukan, tapi pada
akhirnya, itu menguasainya.”
Ruangan itu menjadi sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang
terdengar samar. Julia akhirnya angkat bicara. “Jadi Blackwell
tidak gila... dia dibawa ke ambang kegilaan oleh sesuatu yang
lebih besar dari dirinya?”
Huxley mengangguk perlahan. “Ya, dan aku bisa merasakan hal yang
sama terjadi padaku. Kalian tidak akan percaya apa yang kami
lihat, apa yang kami dengar. Suara-suara itu... mereka masih di
sini, berbisik... menunggu.”
Adrian dan Julia saling bertukar pandang, merasa bahwa mereka baru
saja membuka lapisan pertama dari misteri yang jauh lebih dalam
dan berbahaya.
“Kita harus menemukan lebih banyak,” gumam Adrian. “Apa yang
Blackwell tulis sebelum dia meninggal? Apakah ada sesuatu yang
menghubungkannya dengan suara-suara itu?”
Huxley terdiam sejenak, lalu mengeluarkan sebuah buku catatan tua
dari laci di sebelahnya. “Ini... ini adalah yang terakhir yang dia
tulis. Bacalah, jika kalian berani. Tapi berhati-hatilah.
Kebenaran yang kalian cari mungkin lebih dari yang bisa kalian
tanggung.”
Adrian dan Julia saling berpandangan, merasakan ketegangan yang
berat memenuhi udara di antara mereka. Buku catatan tua itu
tergeletak di meja di hadapan mereka, seakan-akan memancarkan aura
kegelapan yang mendalam. Mata Huxley menatap kosong, seperti
terjebak di antara dunia nyata dan bayangan-bayangan yang
bersembunyi di tepi benaknya.
“Bacalah jika kalian berani,” ulang Huxley dengan suara yang
hampir bergetar, seakan buku itu lebih dari sekadar kertas dan
tinta—seperti menyimpan rahasia yang mengancam siapa pun yang
berusaha mengungkapnya.
Julia mengambil buku itu dengan ragu. Jemarinya yang kokoh terasa
sedikit gemetar saat ia membuka halaman pertama. Tulisan tangan
Blackwell terpampang jelas—huruf-huruf tajam dan tak teratur,
mencerminkan keadaan pikirannya yang semakin terganggu di
saat-saat terakhir hidupnya.
“Ini terlihat kacau,” kata Julia dengan suara pelan. “Kata-kata
ini... hampir tidak masuk akal.”
Adrian mendekat, mengintip ke halaman yang terbuka. Beberapa
kalimat tampak acak, seperti serpihan pikiran yang tak tersusun.
Namun, ada satu kata yang terus berulang di setiap
halaman—"Pintu".
"Pintu... ini terus muncul," gumam Adrian, matanya menyipit. "Apa
maksudnya?"
Huxley, yang duduk tak jauh dari mereka, berdehem pelan.
“Blackwell menjadi terobsesi dengan gagasan tentang pintu. Dia
percaya ada sesuatu di luar dunia kita—sesuatu yang lebih gelap,
lebih kuat. Dan dia yakin bisa menemukan cara untuk membuka pintu
itu.”
“Apa yang dia harapkan akan terjadi jika pintu itu terbuka?” Julia
menoleh ke Huxley dengan tatapan penuh kekhawatiran.
Pria itu menunduk, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, tampak
sangat lelah. “Dia tidak tahu... atau mungkin dia tahu tapi
terlalu ambisius untuk peduli. Dia terpesona oleh
kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi di balik batasan dunia
ini. Dan pada akhirnya, apa pun yang dia temukan menghancurkan
dirinya.”
Adrian mengambil buku itu dari tangan Julia dan membalik beberapa
halaman, berharap menemukan sesuatu yang lebih jelas. Ketika dia
tiba di halaman tengah buku, pandangannya terhenti pada sebuah
simbol yang digambar dengan kasar—lingkaran yang dikelilingi oleh
goresan-goresan tidak beraturan, seolah-olah menggambarkan pintu
atau portal ke dunia lain.
“Ini pasti simbol pintu yang dimaksud,” Adrian menunjuk gambar
itu. “Ada sesuatu di sini... sesuatu yang dia coba pelajari.”
Huxley mengangguk pelan. “Blackwell menyebutnya sebagai 'Gerbang
Keheningan'. Dia percaya gerbang ini mengarah ke dimensi lain,
sebuah tempat di mana suara-suara yang dia dengar berasal. Semakin
dekat dia dengan rahasia itu, semakin dia kehilangan dirinya.”
Julia duduk, mencoba mencerna informasi itu. “Apakah ada orang
lain yang tahu tentang ini? Selain kau dan Blackwell?”
Huxley terdiam sejenak sebelum menjawab, “Dr. Edelstein tahu. Dia
terlibat lebih dari yang kalian kira. Blackwell sering
berkonsultasi dengannya mengenai teori-teori di balik eksperimen
ini. Edelstein mungkin mengetahui lebih banyak tentang sifat
sebenarnya dari apa yang kami hadapi.”
Adrian mengatupkan rahangnya, rasa curiga terhadap Edelstein
semakin kuat. “Kita harus menemui Edelstein lagi. Jika dia tahu
sesuatu tentang 'Gerbang Keheningan', kita harus menggalinya lebih
dalam.”
Huxley tiba-tiba berdiri, pandangannya waspada. “Berhati-hatilah.
Blackwell membuka sesuatu yang seharusnya tetap terkunci. Jika
kalian terlalu dekat, kalian bisa terseret ke dalam kegelapan yang
sama. Suara-suara itu... mereka menunggu.”
Julia berdiri dan menyelipkan buku catatan Blackwell ke dalam
tasnya. “Kita tahu risikonya, tapi kita tidak bisa berhenti
sekarang. Terima kasih untuk semua informasinya, Huxley.”
Huxley hanya mengangguk dengan lemah, tampak kelelahan. “Semoga
kalian menemukan apa yang kalian cari... sebelum terlambat.”
Adrian dan Julia keluar dari rumah tua itu, angin malam yang
dingin menyambut mereka. Mereka melangkah menuruni bukit, diiringi
oleh kesunyian yang menghantui. Adrian tak henti-hentinya
memikirkan apa yang Huxley katakan. Suara-suara. Pintu. Kegelapan.
“Kita berada di jalur yang berbahaya,” gumam Adrian. “Tapi kita
tak punya pilihan lain selain terus maju.”
Julia menatapnya. “Kau pikir Dr. Edelstein benar-benar terlibat?
Atau hanya kebetulan dia terkait dengan Blackwell?”
Adrian menghela napas. “Instingku mengatakan dia tahu lebih dari
yang dia katakan. Kita harus menekannya lebih keras.”
Mereka masuk ke mobil dan mulai berkendara kembali ke kota, malam
semakin larut. Bayang-bayang panjang dari pepohonan di pinggir
jalan seolah mengikuti mereka, mengingatkan mereka bahwa misteri
ini lebih dari sekadar teka-teki biasa. Ada sesuatu yang gelap,
tak terlihat, namun selalu mengintai di tepi pemahaman mereka.
“Besok, kita temui Dr. Edelstein,” kata Adrian, matanya penuh
tekad. “Sudah waktunya kita bongkar semua rahasia yang dia
sembunyikan.”
Malam itu, di apartemen Adrian, suasana terasa semakin tegang.
Meski tubuh mereka lelah, pikiran keduanya tidak bisa tenang.
Blackwell telah membuka sesuatu yang seharusnya tidak tersentuh,
dan sekarang Adrian serta Julia berada di ambang kebenaran yang
bisa mengubah segalanya.
Namun pertanyaannya, bisakah mereka menghadapi apa yang akan
mereka temukan?
Malam itu, Adrian terjaga. Pikirannya berputar-putar di antara
kata-kata Huxley, simbol "Gerbang Keheningan," dan kemungkinan
keterlibatan Dr. Edelstein. Di meja kerjanya, buku catatan
Blackwell masih terbuka, halaman-halamannya terlihat seolah
bernyawa dalam cahaya lampu yang temaram.
Ia menatap keluar jendela, ke arah kota yang tampak dingin dan tak
bersahabat. Setiap sudut gelap seolah menyembunyikan rahasia yang
tidak ingin diungkapkan. Julia sudah tertidur di sofa di sisi lain
ruangan, napasnya tenang tapi gerakan kecil di tubuhnya
menunjukkan kegelisahan yang sama.
Adrian meraih buku catatan Blackwell lagi, menelusuri halaman demi
halaman, mencoba menemukan pola di balik kalimat yang tampak acak.
Sesekali, ada diagram lingkaran, simbol yang terlihat semakin
rumit seiring berjalannya waktu. Di antara semua kekacauan itu,
satu catatan membuatnya berhenti. Kalimat itu tergores dengan
tekanan kuat:
"Gerbang sudah terbuka."
Sebuah dentuman tiba-tiba memecah keheningan malam. Adrian
terlompat dari kursinya, sementara Julia bangun dengan cepat,
tangan kanannya sudah bersiap meraih senjata. “Apa itu?” gumam
Julia dengan nada waspada, matanya masih sedikit buram dari
kantuk.
Adrian menatap ke pintu apartemen mereka. “Sepertinya ada
sesuatu... atau seseorang di luar.”
Tanpa bicara lebih lanjut, Julia segera bergerak menuju pintu
dengan langkah tenang dan hati-hati. Adrian mengikutinya, meraih
pisau kecil yang disimpan di saku mantel. Julia mengintip melalui
lubang kecil di pintu, matanya menyipit tajam.
“Ada seseorang di luar,” bisiknya, nadanya rendah dan dingin.
“Tampaknya tidak bersenjata.”
Adrian mengangguk dan membuka pintu perlahan. Di depan mereka,
berdiri seorang pria dengan wajah pucat dan mata kosong. Pria itu
tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Adrian dan Julia dengan
tatapan yang kosong namun penuh kecemasan.
“Siapa kau?” Julia bertanya tajam.
Pria itu tidak langsung menjawab. Bibirnya gemetar sedikit sebelum
ia berbisik, “Kegelapan... kegelapan datang. Mereka tahu... mereka
tahu kalian mencarinya.” Tangannya gemetar saat dia mengangkat
secarik kertas, memberikannya pada Adrian. “Ini... ini untuk
kalian. Berhati-hatilah.”
Sebelum Adrian atau Julia sempat bereaksi, pria itu berbalik dan
melangkah cepat, menghilang dalam kegelapan lorong. Adrian menatap
Julia sebelum menutup pintu dan membuka kertas itu.
Ada sebuah peta. Di sudut bawahnya, tertulis dengan tangan
gemetar: "Temui aku di sini, sebelum mereka menemukanmu."
Julia memandang peta itu dengan curiga. “Ini jebakan? Atau mungkin
sesuatu yang lebih buruk?”
Adrian meremas peta itu perlahan, pikirannya penuh dengan
pertanyaan. “Mungkin kita tidak punya pilihan. Jika seseorang tahu
kita mendekati kebenaran, kita harus mendahului mereka.”
“Peta ini menunjuk ke sebuah gudang di daerah industri kota,”
Julia menunjuk sebuah titik di peta. “Tempat itu sudah lama
ditinggalkan. Terlalu sempurna untuk pertemuan rahasia.”
Malam semakin pekat saat mereka memutuskan untuk segera menuju
lokasi yang ditunjukkan di peta. Kota yang dulu tampak bersahabat
sekarang berubah menjadi labirin gelap, penuh ancaman yang tidak
kasat mata. Bayang-bayang mengikuti mereka, menciptakan rasa
waspada yang semakin tajam.
Ketika mereka sampai di daerah industri yang kumuh, suasana
menjadi semakin sunyi. Gudang yang dituju tampak tua dan
terlantar, dengan pintu besar yang berderit tertiup angin malam.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya kegelapan yang merayap di
setiap sudut bangunan itu.
“Kita masuk,” kata Adrian sambil menarik napas dalam-dalam,
merasakan ketegangan menggantung di udara.
Mereka membuka pintu gudang perlahan. Di dalam, bau lembab dan
berkarat menyergap indra mereka. Suara langkah mereka bergema di
lantai beton yang retak. Tiba-tiba, dari balik bayangan, muncul
sosok yang sudah mereka kenal—Dr. Markus Edelstein.
Wajah Edelstein tampak tenang, tapi matanya menyiratkan
kegelisahan. “Aku tahu kalian akan sampai di sini,” katanya dengan
nada datar.
“Kau tahu tentang 'Gerbang Keheningan',” kata Adrian tanpa
basa-basi. “Apa yang sebenarnya terjadi? Dan bagaimana kau
terlibat?”
Dr. Edelstein tidak langsung menjawab. Dia berjalan perlahan,
memperhatikan setiap sudut gudang seolah sedang menimbang apa yang
akan dia katakan. “Blackwell... dia terlalu jauh. Kami semua
terlalu jauh. Apa yang kami lakukan bukan sekadar eksperimen
sains. Kami membuka sesuatu yang lebih tua dan lebih kuat dari apa
pun yang pernah kami bayangkan.”
Julia melangkah maju, tatapannya penuh amarah. “Kau membiarkan ini
terjadi, dan sekarang orang-orang sekarat karena ambisimu. Apa
yang sebenarnya kau cari?”
Edelstein menundukkan kepala, tampak bersalah sejenak. “Aku pikir
kami bisa mengendalikan kegelapan itu. Tapi aku salah. Suara-suara
itu... bayangan-bayangan itu, mereka tidak bisa diabaikan.
Blackwell mencoba mengendalikan mereka, tapi itu justru membawanya
pada kehancuran.”
Adrian menatap tajam Edelstein. “Dan sekarang? Apa yang akan
terjadi? Apakah ini semua bagian dari rencanamu?”
Edelstein menggelengkan kepala dengan pelan. “Aku tidak punya
rencana lagi. Satu-satunya cara untuk menutup gerbang itu adalah
dengan menemukan kunci terakhir yang Blackwell sembunyikan.
Tanpanya, gerbang akan tetap terbuka, dan suara-suara itu akan
keluar.”
Suasana menjadi semakin menekan. Gudang yang besar terasa semakin
menyempit oleh ketegangan yang memuncak. Di kejauhan, terdengar
gemuruh samar—seolah-olah ada sesuatu yang bergerak mendekat dari
luar, sesuatu yang tidak terlihat namun bisa dirasakan.
“Kita harus menemukan kunci itu,” gumam Adrian dengan tegas.
“Sebelum kegelapan ini menelan semuanya.”
Edelstein menatap Adrian dan Julia, wajahnya penuh kecemasan.
“Kalian mungkin berpikir kalian siap. Tapi ingatlah satu hal:
Kegelapan ini... tidak bisa dihentikan, hanya bisa ditunda.”
Suara gemuruh semakin dekat, seperti langkah berat yang
menggetarkan tanah di bawah gudang tua itu. Adrian, Julia, dan Dr.
Edelstein berdiri dalam keheningan tegang, saling memandang dengan
penuh kewaspadaan. Suasana di dalam ruangan terasa seperti ditarik
oleh gravitasi yang lebih kuat, udara menjadi semakin padat dengan
perasaan tercekik.
“Kita harus segera pergi,” desis Julia, matanya mengamati
bayang-bayang yang seolah semakin tebal di sudut-sudut gudang.
“Ada sesuatu yang mendekat.”
Edelstein, yang biasanya terlihat tenang dan terkontrol, tampak
pucat. Dia melangkah cepat ke arah salah satu dinding beton yang
terlihat tua dan retak. “Ikuti aku. Ada jalan keluar lain di
belakang gudang ini.”
Mereka bergerak cepat melalui lorong-lorong sempit di dalam
gudang, suara derit besi tua terdengar di mana-mana. Adrian bisa
merasakan bahwa kegelapan ini bukan sekadar bayang-bayang—ada
sesuatu yang hidup, sesuatu yang mengintai dari balik keremangan
itu. Sesekali, dia merasa seperti melihat kilasan bentuk yang tak
menentu di sudut matanya, namun setiap kali ia menoleh, tidak ada
apa-apa.
Setelah beberapa menit berlari di sepanjang lorong yang tampak tak
berujung, mereka tiba di sebuah pintu besi yang sudah berkarat.
Edelstein membuka pintu dengan susah payah, dan di baliknya
terlihat sebuah jalan setapak yang menuntun mereka keluar dari
bangunan itu. Tanpa ragu, mereka bertiga bergegas keluar,
meninggalkan gudang yang sekarang terasa seperti perangkap yang
siap menelan mereka kapan saja.
Di luar, udara malam terasa lebih segar, meski masih diselimuti
oleh perasaan aneh yang tak dapat dijelaskan. Mereka berdiri
sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri
setelah ketegangan yang baru saja mereka lalui.
“Kita tidak bisa terus lari,” gumam Adrian, suaranya rendah tapi
penuh dengan tekad. “Kita harus menemukan kunci yang dibicarakan
Blackwell sebelum semuanya terlambat.”
Edelstein mengangguk, meski jelas terlihat bahwa pria tua itu
mulai merasakan beban dari apa yang telah dia mulai. “Aku tahu
tempatnya,” ujarnya pelan. “Blackwell menyembunyikan kunci
terakhir di tempat di mana dia pertama kali mendengar suara-suara
itu. Sebuah tempat di luar kota, di dalam hutan yang sudah lama
ditinggalkan.”
Julia menyipitkan matanya, merasa curiga. “Kenapa baru sekarang
kau memberi tahu kami tentang ini?”
Edelstein menatap Julia, sorot matanya lelah tapi jujur. “Aku
berpikir jika aku bisa mengendalikan gerbang itu sendiri, aku
tidak perlu melibatkan kalian. Tapi sekarang... semua sudah di
luar kendali.”
Mereka bergegas menuju mobil yang diparkir tak jauh dari situ,
melaju menuju hutan yang disebutkan Edelstein. Jalanan semakin
sepi, dan bayang-bayang pohon yang menjulang tinggi di pinggir
jalan membuat perjalanan mereka terasa seperti masuk ke dalam
mulut kegelapan yang lebih dalam lagi.
“Tempat ini dikenal sebagai Blackwood Forest,” kata Edelstein
ketika mereka mulai memasuki jalan kecil yang penuh dengan
pepohonan lebat. “Blackwell melakukan banyak penelitiannya di
sini. Dia percaya bahwa di sinilah segalanya dimulai—di sinilah
suara-suara itu pertama kali berbicara padanya.”
Adrian menggenggam setir dengan erat, pikirannya penuh dengan
skenario yang tidak menyenangkan. “Kau yakin kuncinya ada di
sini?”
Edelstein mengangguk. “Aku yakin. Ada satu pondok tua di tengah
hutan, tempat dia biasa bekerja. Jika kunci itu disembunyikan di
mana pun, pasti ada di sana.”
Mereka terus berkendara, semakin dalam memasuki hutan yang semakin
gelap. Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah jalan buntu
yang berakhir di depan sebuah pondok kecil yang tampak rusak dan
ditinggalkan selama bertahun-tahun. Pintu kayu yang lapuk dan
jendela yang pecah mencerminkan betapa sunyi dan terasingnya
tempat itu.
“Kita masuk dan cari kuncinya,” ujar Adrian sambil keluar dari
mobil, diikuti oleh Julia dan Edelstein. “Kita harus bergerak
cepat.”
Mereka melangkah hati-hati memasuki pondok. Di dalamnya, mereka
menemukan ruangan yang dipenuhi dengan buku-buku tua, alat-alat
ilmiah yang berkarat, dan peralatan yang tampak seperti pernah
digunakan untuk eksperimen. Suasana di dalam pondok terasa tegang,
seolah tempat ini pernah menyaksikan sesuatu yang mengerikan dan
tak terbayangkan.
Julia menyalakan senter, menyinari ruangan yang dipenuhi debu dan
sarang laba-laba. “Kita harus mencari petunjuk apa pun yang bisa
menunjukkan di mana Blackwell menyembunyikan kunci itu.”
Adrian dan Edelstein mulai memeriksa setiap sudut ruangan,
sementara Julia berjalan menuju meja yang penuh dengan
kertas-kertas berserakan. Di salah satu kertas itu, ada gambar
simbol yang sama dengan yang ada di buku catatan
Blackwell—lingkaran dengan goresan-goresan yang menggambarkan
pintu.
“Ini dia lagi... simbol pintu,” bisik Julia sambil menunjuk gambar
itu.
Adrian mendekat, memperhatikan simbol tersebut dengan cermat. “Ini
pasti ada hubungannya dengan lokasi kunci.”
Edelstein tiba-tiba berhenti di depan rak buku yang besar, matanya
menyala dengan kegembiraan yang tak terduga. “Di sini,” katanya
pelan. “Aku ingat sekarang. Blackwell selalu berbicara tentang
'pintu' di dalam ruangan ini.”
Dengan hati-hati, Edelstein menarik salah satu buku dari rak.
Sebuah suara mekanis terdengar, dan tiba-tiba rak buku itu
bergerak, memperlihatkan pintu tersembunyi di baliknya.
Adrian, Julia, dan Edelstein berdiri terdiam sejenak, menatap
pintu kayu tua yang tersembunyi di balik rak. Adrian meraih gagang
pintu, jantungnya berdebar kencang.
“Kita tidak tahu apa yang ada di balik pintu ini,” gumam Adrian,
suaranya penuh dengan kewaspadaan. “Tapi ini mungkin satu-satunya
cara kita untuk menutup gerbang itu.”
Dengan hati-hati, dia membuka pintu, memperlihatkan tangga batu
yang menurun ke bawah tanah, menuju kegelapan yang tampaknya tak
berujung. Suara gemuruh yang samar terdengar dari dalam, seperti
bisikan dari jauh, seolah-olah ada sesuatu yang menunggu di dasar
kegelapan.
“Kita tidak punya pilihan lain,” ujar Julia dengan tegas, menyusul
Adrian menuju tangga batu itu.
Dengan langkah-langkah berat dan hati yang penuh keraguan, mereka
turun ke dalam kegelapan, menuju akhir dari sebuah rahasia yang
telah lama terkubur—sebuah rahasia yang mungkin akan mengubah
hidup mereka selamanya.
Tangga batu yang turun menuju bawah tanah terasa seperti
terowongan tanpa akhir. Setiap langkah yang mereka ambil bergema
di sepanjang dinding sempit, mengisi udara dengan rasa resah.
Adrian berada di depan, diikuti oleh Julia yang memegang senter di
tangan, sementara Dr. Edelstein berada di belakang, napasnya
semakin berat seiring dengan penurunan yang semakin dalam.
"Berapa jauh lagi, Edelstein?" tanya Adrian, matanya terus mencari
tanda-tanda bahaya di sekeliling.
Edelstein menelan ludah, suaranya terdengar lelah. "Aku tidak
yakin. Blackwell hanya memberiku petunjuk samar tentang ruang
bawah tanah ini. Tapi jika teorinya benar, kunci itu harus berada
di tempat ini."
Di dasar tangga, lorong terbuka menuju ruangan besar yang lembap.
Udara di dalamnya lebih dingin, hampir seperti peringatan akan
sesuatu yang mereka tidak siap hadapi. Dinding batu yang kasar
dipenuhi dengan simbol-simbol kuno yang sama dengan yang ada di
buku catatan Blackwell, setiap goresannya tampak seperti
menyembunyikan misteri yang lebih dalam.
“Ini tidak terasa seperti tempat biasa,” gumam Julia, matanya
terus menyapu ruangan dengan penuh kewaspadaan. “Ada sesuatu di
sini.”
Adrian menahan napas saat mereka melangkah lebih jauh ke dalam
ruangan besar itu. Di tengah ruangan, sebuah altar batu besar
berdiri, dengan simbol "Gerbang Keheningan" terpahat dalam
lingkaran yang rumit. Di atas altar, ada kotak logam yang terlihat
tua dan berkarat, seolah-olah telah berada di sana selama
berabad-abad.
"Ini dia," bisik Edelstein, suaranya penuh kekaguman sekaligus
ketakutan. "Kotak itu... pasti berisi kunci terakhir."
Adrian mendekat ke altar dengan hati-hati, tangannya gemetar
sedikit saat dia meraih kotak itu. Kotak tersebut dingin saat
disentuh, beratnya membuat Adrian berjuang sedikit untuk
mengangkatnya. Julia berdiri di sampingnya, berjaga-jaga dengan
senter di tangan.
"Jangan langsung membukanya," peringatan Julia, suaranya rendah
tapi tegas. "Kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi."
Adrian mengangguk, menyadari risiko besar yang ada di depan
mereka. Namun, sebelum dia bisa memikirkan langkah selanjutnya,
suara gemuruh kembali terdengar dari balik dinding. Kali ini,
suara itu lebih keras, lebih mendalam, seolah-olah ada sesuatu
yang merobek lapisan antara dunia nyata dan dunia di luar nalar.
“Kita harus keluar dari sini, sekarang juga,” desak Julia,
tatapannya penuh kewaspadaan.
Namun sebelum mereka bisa bergerak, lantai di sekitar altar mulai
bergetar. Batu-batu di dinding bergetar, dan dari dalam
bayang-bayang, sesuatu mulai muncul. Sesosok bayangan yang tidak
memiliki bentuk pasti, hanya kilasan kegelapan yang bergerak cepat
di dalam ruangan. Sosok itu tidak terlihat seperti manusia, lebih
menyerupai kekosongan yang hidup.
"Apa itu?!" seru Julia sambil mundur, tangannya meraih senjata
yang tergantung di pinggangnya.
Adrian menatap sosok itu dengan mata membelalak, tubuhnya
menegang. Bayangan itu bergerak mendekat, seolah tertarik pada
kotak logam di tangannya. Setiap kali bayangan itu bergerak, udara
di sekitarnya terasa semakin dingin, dan suara bisikan mulai
terdengar, merayap ke dalam pikiran mereka.
“Kita harus segera keluar dari sini!” teriak Edelstein dengan
panik, melangkah mundur.
Namun, sebelum mereka bisa melarikan diri, bayangan itu tiba-tiba
melesat ke arah Adrian, menyerang dengan kecepatan yang
mengerikan. Adrian hanya bisa melompat ke samping, berusaha
menghindari serangan itu. Dalam sekejap, bayangan itu melayang ke
arah Julia, yang bereaksi cepat dengan menembakkan beberapa
tembakan dari pistolnya.
Tembakan-tembakan itu tidak berpengaruh apa pun. Peluru hanya
menembus kegelapan tanpa melukai sosok bayangan tersebut. Sosok
itu terus mendekat, semakin cepat dan semakin besar.
“Ini bukan sesuatu yang bisa kita lawan!” seru Adrian, berusaha
menarik Julia menjauh dari sosok itu. “Kita harus menemukan cara
untuk menghentikannya.”
Di tengah kekacauan itu, Edelstein tiba-tiba berteriak, "Kotak
itu! Kunci ada di dalamnya! Mungkin itu satu-satunya cara kita
untuk menghentikan mereka!"
Adrian, yang masih menggenggam kotak logam itu, segera membuka
penutupnya. Di dalamnya, ada sebuah kunci perunggu dengan ukiran
yang aneh—tampaknya cocok dengan simbol-simbol yang mereka lihat
di dinding. Namun, saat Adrian mengangkat kunci itu, sosok
bayangan mulai semakin gelisah, seolah menyadari bahwa mereka
hampir mendekati akhir permainan.
“Kita harus membawa kunci ini ke Gerbang Keheningan,” kata Adrian
sambil menggenggam kunci itu erat-erat. “Itu satu-satunya cara
untuk menutup gerbang dan menghentikan kegelapan ini.”
Sementara sosok bayangan itu semakin mendekat, Adrian, Julia, dan
Edelstein berlari ke arah pintu yang menuju ke tangga batu. Namun,
dengan setiap langkah yang mereka ambil, bayangan itu semakin
cepat, mengikuti mereka dengan kecepatan yang mengerikan.
Dengan napas terengah-engah dan perasaan panik yang terus memburu,
mereka berhasil mencapai tangga dan mulai memanjat dengan sekuat
tenaga. Suara gemuruh dari bawah semakin mengerikan, seolah-olah
kegelapan itu berusaha menyeret mereka kembali.
Saat mereka akhirnya mencapai pintu keluar, Adrian menutup pintu
di belakang mereka dengan keras. Di luar, udara malam terasa
seperti penyelamat setelah perjalanan yang mendebarkan di bawah
tanah. Namun, mereka tahu bahwa ini baru permulaan.
“Kita harus menuju Gerbang Keheningan,” desak Adrian, tatapannya
penuh dengan tekad. “Jika tidak, kegelapan ini akan terus mengejar
kita.”
Julia menatapnya dengan serius, napasnya masih berat. “Kita tidak
punya banyak waktu. Mereka akan datang.”
Dengan kunci di tangan, Adrian memimpin jalan menuju akhir dari
perjalanan yang penuh bahaya ini, menuju pertemuan terakhir mereka
dengan Gerbang Keheningan, di mana segalanya akan
diputuskan—apakah mereka bisa menutup gerbang itu, atau kegelapan
akan menelan segalanya.
Malam semakin larut ketika Adrian, Julia, dan Dr. Edelstein
kembali ke mobil mereka, kunci perunggu yang mereka temukan kini
terasa berat di tangan Adrian. Udara malam di hutan Blackwood
Forest terasa tegang, seolah-olah segala sesuatu di sekitar mereka
mengawasi, menunggu langkah berikutnya. Bayangan dari pepohonan
yang menjulang tinggi menciptakan ilusi gerakan, dan gemerisik
daun yang ditiup angin seperti bisikan halus dari kegelapan yang
belum usai.
“Kita harus ke Gerbang Keheningan sebelum kegelapan itu mencapai
kita,” kata Adrian dengan nada mendesak, menghidupkan mesin mobil.
“Tidak ada waktu untuk berpikir lagi.”
Dr. Edelstein yang duduk di kursi belakang menatap keluar jendela
dengan pandangan yang kosong. “Aku tidak pernah berpikir akan
sampai sejauh ini,” gumamnya. “Gerbang itu... adalah pintu menuju
sesuatu yang lebih dari apa yang kita pahami.”
Julia, yang duduk di sebelah Adrian, menyentuh bahunya dengan
lembut, mencoba menenangkan ketegangan yang semakin menumpuk di
dalam mobil. “Apapun itu, kita akan menghentikannya. Kita harus.”
Mereka melaju kencang menuju lokasi yang disebut-sebut sebagai
tempat Gerbang Keheningan berada. Jalan hutan semakin sempit dan
tidak terawat, dipenuhi ranting dan akar yang menjalar, menambah
suasana tegang. Adrian memusatkan perhatiannya pada jalan, tetapi
pikirannya terus memikirkan apa yang akan mereka temui di sana.
Setelah beberapa saat berkendara, mereka tiba di sebuah tanah
lapang yang tampak terlantar, dikelilingi oleh pohon-pohon tua
yang besar dan menjulang tinggi. Di tengah lapangan itu, ada
struktur batu yang hampir tersembunyi oleh tumbuhan liar—Gerbang
Keheningan. Bentuknya seperti reruntuhan kuno, dengan dua pilar
batu yang megah, meski kini sudah retak dan dipenuhi lumut. Di
antara kedua pilar itu, udara terasa lebih berat, seolah ada
sesuatu yang tak terlihat di antara mereka.
“Kita sampai,” kata Edelstein, keluar dari mobil dengan tubuh
gemetar. Matanya menatap Gerbang dengan rasa takut dan kekaguman.
“Ini adalah tempat di mana segalanya dimulai.”
Adrian dan Julia mengikuti dari belakang, kunci perunggu masih di
tangan Adrian. Dia mendekati Gerbang dengan hati-hati, merasa
bahwa setiap langkah yang dia ambil semakin mendekatkannya pada
sesuatu yang besar, sesuatu yang mungkin tidak bisa mereka
kendalikan.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Julia, matanya
waspada, siap untuk setiap kemungkinan.
Edelstein mendekati salah satu pilar, memperhatikan ukiran yang
tertutupi lumut dan tanah. “Ada sebuah mekanisme tersembunyi di
sini,” katanya sambil menunjuk simbol yang sudah pudar. “Blackwell
pernah menceritakan sesuatu tentang ini. Kunci ini harus
dimasukkan ke dalam slot tertentu, dan hanya dengan begitu kita
bisa menutup Gerbang.”
Adrian memperhatikan pilar yang disebut Edelstein. Di salah satu
bagian bawahnya, ada celah yang nyaris tak terlihat, cocok dengan
bentuk kunci perunggu di tangannya. Dengan tangan yang sedikit
gemetar, dia memasukkan kunci itu ke dalam slot. Suara klik
terdengar pelan, lalu tanah di bawah kaki mereka bergetar pelan.
“Sudah?” tanya Julia, suaranya penuh dengan ketidakpastian.
Namun, saat Adrian hendak menjawab, gemuruh besar terdengar dari
dalam tanah, dan sebuah cahaya redup mulai bersinar di antara
kedua pilar batu. Cahaya itu aneh, tidak seperti cahaya
biasa—seolah-olah ia tidak memancarkan terang, melainkan menyerap
kegelapan di sekitarnya.
“Kita harus mundur,” desis Edelstein, matanya membelalak saat
cahaya itu semakin kuat. “Gerbang itu—aku tidak yakin kita tahu
apa yang akan keluar darinya.”
Namun, sebelum mereka bisa bereaksi, dari dalam cahaya tersebut
muncul sesuatu. Bayangan besar, lebih besar dari yang pernah
mereka lihat sebelumnya, perlahan keluar dari Gerbang. Bentuknya
tak jelas, seperti kabut gelap yang bergerak dengan kehendak
sendiri. Suara bisikan kembali terdengar, lebih keras kali ini,
memenuhi pikiran mereka dengan rasa takut dan kebingungan.
“Kita harus menutupnya, sekarang!” teriak Adrian sambil mencoba
menarik kunci kembali. Namun kunci itu tidak bergerak, seolah-olah
telah menyatu dengan Gerbang.
Julia mengeluarkan senjatanya, menatap sosok bayangan yang semakin
mendekat. “Ini tidak baik,” gumamnya. “Apa pun ini, kita tidak
bisa membiarkannya keluar.”
Edelstein, yang terlihat panik, mulai meraba-raba sesuatu di
tasnya. “Ada cara lain... mungkin ada cara lain untuk menghentikan
ini!” Dia mengeluarkan buku catatan tua Blackwell dan mulai
membuka halaman-halaman yang sudah pudar.
Sementara itu, bayangan dari dalam Gerbang semakin mendekat,
bentuknya semakin nyata. Wajah-wajah samar mulai terlihat di dalam
kegelapan, seolah-olah mereka adalah jiwa-jiwa yang terperangkap
di dalam Gerbang, mencoba keluar ke dunia mereka.
Adrian mencoba sekali lagi menarik kunci itu, tapi usahanya
sia-sia. “Kita tidak bisa menariknya keluar!” serunya, putus asa.
“Apa yang kita lakukan sekarang?”
Julia menembakkan beberapa tembakan ke arah bayangan, tetapi
seperti sebelumnya, peluru-peluru itu hanya menembus kekosongan.
“Ini tidak ada gunanya. Kita perlu mencari cara lain.”
Edelstein tiba-tiba berhenti membolak-balik halaman, matanya
menatap sesuatu di salah satu catatan. “Ini dia... Blackwell
menulis tentang ini. Gerbang hanya bisa ditutup dengan
mengorbankan sesuatu... atau seseorang.”
Adrian tertegun, menatap Edelstein dengan tajam. “Apa maksudmu?”
Edelstein menatap Gerbang dengan ekspresi penuh penyesalan.
“Gerbang ini terhubung dengan kehidupan. Untuk menutupnya, kita
harus menawarkan hidup kepada Gerbang, seperti Blackwell lakukan
saat pertama kali membukanya.”
Julia menggelengkan kepalanya. “Tidak, pasti ada cara lain.”
Adrian berpikir keras, tetapi waktu semakin sedikit. Bayangan
semakin mendekat, dan bisikan di kepala mereka semakin intens.
“Jika itu satu-satunya cara…” ujar Adrian pelan.
Mereka saling bertukar pandang, menyadari bahwa pilihan ini lebih
sulit dari yang mereka bayangkan. Sesuatu harus dikorbankan, atau
kegelapan ini akan menghancurkan segalanya.
“Aku akan melakukannya,” ujar Edelstein tiba-tiba, langkahnya
berat namun tegas. “Aku yang memulai ini, dan akulah yang harus
mengakhirinya.”
Dengan hati yang berat, Adrian dan Julia hanya bisa menyaksikan
saat Edelstein mendekati Gerbang. Tanpa ragu, Edelstein berjalan
ke dalam cahaya yang menyerap segalanya, dan dalam sekejap,
kegelapan mulai mereda. Gerbang itu perlahan-lahan menutup,
sementara suara bisikan dan bayangan menghilang.
Keheningan menyelimuti mereka. Gerbang Keheningan kini telah
tertutup, tapi harganya sangat mahal.
Julia menunduk, menutup matanya sesaat. “Dia mengorbankan
segalanya...”
Adrian memandang Gerbang yang kini tak lagi bersinar. “Dia
menyelamatkan kita semua.”
Dengan Gerbang yang tertutup, kegelapan di hutan perlahan-lahan
menghilang. Mereka tahu, meskipun malam itu telah berakhir,
bayangan dari masa lalu ini akan selalu menghantui mereka.
Langit mulai memucat di ufuk timur saat fajar mendekat, menandakan
berakhirnya malam yang panjang dan penuh kengerian. Adrian dan
Julia berdiri di depan Gerbang Keheningan yang kini tertutup,
dikelilingi oleh hutan yang kembali tenang. Suara burung-burung
pagi mulai terdengar, seakan alam mencoba menenangkan jiwa mereka
yang terguncang.
"Apakah ini benar-benar sudah berakhir?" tanya Julia pelan,
matanya masih terpaku pada tempat di mana Dr. Edelstein
menghilang. Wajahnya menunjukkan campuran emosi—kesedihan,
kelegaan, dan sedikit ketidakpastian.
Adrian menghela napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan beban
yang menekan dadanya. "Aku harap begitu," jawabnya. "Pengorbanan
Dr. Edelstein seharusnya menutup Gerbang itu untuk selamanya."
Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan keheningan pagi
menyelimuti mereka. Namun, di dalam hati Adrian, masih tersisa
pertanyaan dan kekhawatiran. Bayangan dari peristiwa yang baru
saja terjadi terus menghantui pikirannya.
"Kita harus melaporkan ini," kata Julia akhirnya, memecah
keheningan. "Meskipun aku ragu mereka akan mempercayai kita."
Adrian mengangguk. "Ya, tapi setidaknya kita bisa mencoba
menjelaskan apa yang terjadi. Dan mungkin, mencari cara untuk
mencegah hal seperti ini terjadi lagi."
Mereka berbalik dan berjalan kembali ke mobil. Saat mereka melaju
meninggalkan hutan Blackwood, matahari perlahan naik, menerangi
jalan di depan mereka. Namun, meski cahaya pagi mulai menyinari
dunia, bayangan dari malam sebelumnya masih membayangi pikiran
mereka.
**
Di kantor polisi, Adrian dan Julia duduk di ruang interogasi,
berhadapan dengan Kapten Harris, atasan Julia. Wajah Kapten Harris
tampak serius, matanya menatap tajam ke arah mereka.
"Jadi, kalian ingin aku percaya bahwa Dr. Edelstein terlibat dalam
semacam... ritual supernatural dan menghilang begitu saja?"
tanyanya dengan nada skeptis.
Julia menatap Kapten Harris dengan tegas. "Kami tahu ini sulit
dipercaya, Pak. Tapi itulah yang terjadi. Ada sesuatu yang lebih
besar dari yang kita pahami, dan kami berhadapan langsung dengan
itu."
Kapten Harris menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi.
"Julia, kau adalah salah satu detektif terbaikku. Tapi cerita
ini... sulit untuk diterima. Apakah mungkin kalian mengalami
halusinasi? Kelelahan bisa membuat orang melihat hal-hal yang
tidak ada."
Adrian menyela. "Pak, saya paham ini terdengar tidak masuk akal.
Tapi kami memiliki bukti." Dia mengeluarkan buku catatan Blackwell
dan beberapa dokumen yang mereka kumpulkan. "Semua ini menunjukkan
keterlibatan Dr. Edelstein dalam eksperimen yang berbahaya."
Kapten Harris memandang dokumen-dokumen itu dengan ragu. "Baiklah,
saya akan melihat ini. Tapi untuk sementara, saya ingin kalian
berdua beristirahat. Kalian tampak lelah."
Julia ingin membantah, tapi Adrian menepuk bahunya pelan. "Baik,
Pak. Terima kasih," kata Adrian sambil bangkit dari kursinya.
Setelah keluar dari ruangan, Julia menghela napas frustrasi.
"Mereka tidak akan mempercayai kita. Semuanya akan
ditutup-tutupi."
Adrian menatapnya dengan tenang. "Kita sudah melakukan yang
terbaik. Sekarang, mungkin saatnya kita mencari cara lain untuk
memahami apa yang terjadi."
Julia menatapnya dengan alis terangkat. "Apa maksudmu?"
Adrian tersenyum tipis. "Aku berpikir untuk mengunjungi seseorang
yang mungkin bisa membantu kita. Ingat Mira Dastur?"
Julia terkejut. "Jurnalis investigasi itu? Apa hubungannya?"
"Dia sudah lama menyelidiki kasus-kasus aneh dan kejahatan
tersembunyi. Jika ada yang bisa membantu kita mengungkap
kebenaran, mungkin dia orangnya," jelas Adrian.
Julia berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah. Tidak ada
salahnya mencoba."
**
Beberapa jam kemudian, mereka bertemu dengan Mira Dastur di sebuah
kafe kecil di pinggiran kota. Mira adalah wanita paruh baya dengan
aura ketegasan. Matanya tajam, menunjukkan pengalaman dan
kecerdasan yang mendalam.
"Adrian Mirza dan Julia Ramirez," sapa Mira sambil duduk di depan
mereka. "Aku mendengar kalian mencari informasi."
Adrian mengangguk. "Kami membutuhkan bantuanmu. Kami baru saja
mengalami sesuatu yang... sulit dijelaskan."
Mira tersenyum tipis. "Dalam pekerjaanku, hal-hal sulit dijelaskan
adalah makanan sehari-hari. Ceritakan padaku."
Mereka menceritakan semua yang terjadi, dari kematian Blackwell,
keterlibatan Dr. Edelstein, hingga peristiwa di Gerbang
Keheningan. Mira mendengarkan dengan seksama, tanpa sekali pun
menyela.
Setelah mereka selesai, Mira menatap mereka dengan serius. "Apa
yang kalian alami bukanlah hal baru. Ada banyak cerita tentang
upaya membuka pintu ke dunia lain, dan konsekuensi yang
mengerikan."
Julia mencondongkan tubuh ke depan. "Jadi kau percaya pada kami?"
Mira mengangguk. "Ya. Dan aku pikir, ini hanya puncak gunung es.
Ada kekuatan-kekuatan yang bermain di balik layar, dan Dr.
Edelstein mungkin bukan satu-satunya yang terlibat."
Adrian merasa jantungnya berdegup lebih cepat. "Apa maksudmu?"
Mira membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa dokumen. "Selama
bertahun-tahun, aku menyelidiki organisasi rahasia yang tertarik
pada hal-hal seperti ini. Mereka mencari cara untuk memanfaatkan
kekuatan dari dimensi lain."
Julia tampak terkejut. "Jadi ada orang lain yang mungkin mencoba
membuka Gerbang itu lagi?"
Mira mengangguk. "Kemungkinan besar. Dan kita harus menghentikan
mereka."
Adrian menatap Mira dengan tekad. "Kalau begitu, kita harus
bekerja sama."
**
Malam itu, Adrian duduk di apartemennya, memandang keluar jendela.
Pikirannya dipenuhi oleh informasi baru yang diberikan Mira.
Ternyata, pengorbanan Dr. Edelstein mungkin belum cukup untuk
menghentikan ancaman yang lebih besar.
Tiba-tiba, teleponnya berdering. Itu adalah panggilan dari nomor
tak dikenal. Dengan ragu, Adrian mengangkatnya.
"Adrian Mirza?" suara di seberang terdengar serak.
"Ya, siapa ini?" tanya Adrian.
"Aku punya informasi tentang ayahmu," kata suara itu. "Jika kau
ingin tahu kebenaran, temui aku di tempat yang ditentukan."
Sebelum Adrian sempat bertanya lebih lanjut, panggilan itu
terputus. Dia menatap layar ponselnya dengan kaget. Ayahnya,
Samuel Mirza, telah hilang selama bertahun-tahun. Apakah ini ada
hubungannya dengan semua yang terjadi?
Adrian segera menghubungi Julia. "Kita punya masalah baru,"
katanya.
"Apa yang terjadi?" tanya Julia di ujung telepon.
"Ada seseorang yang mengaku punya informasi tentang ayahku. Aku
pikir ini terkait dengan semuanya."
Julia terdiam sejenak. "Baiklah. Kita harus berhati-hati. Siapa
tahu ini jebakan."
Adrian mengangguk meski Julia tidak bisa melihatnya. "Aku tahu.
Tapi aku harus mencari tahu."
Adrian berdiri di tepi trotoar, menunggu Julia di bawah cahaya
redup lampu jalan. Pikiran tentang ayahnya berputar-putar dalam
benaknya. Apakah benar panggilan tadi terkait dengan Samuel Mirza?
Atau ini hanya salah satu dari permainan gelap yang telah mereka
hadapi sejak menemukan Gerbang Keheningan?
Suara mobil mendekat dan berhenti di dekatnya. Julia keluar dari
mobil, wajahnya terlihat serius namun waspada. "Sudah siap?"
tanyanya, menatap Adrian dengan tatapan penuh kekhawatiran.
Adrian mengangguk. "Ini mungkin satu-satunya petunjuk yang aku
punya tentang ayahku, tapi aku tidak bisa mengabaikan kemungkinan
jebakan."
Julia setuju, meskipun dalam hatinya dia merasa cemas. "Jadi, ke
mana kita akan pergi?"
Adrian mengeluarkan secarik kertas yang dia tulis segera setelah
panggilan tadi terputus. "Ini tempatnya, sebuah gedung tua di
dekat distrik pabrik yang sudah lama ditinggalkan."
"Tempat itu sering dijadikan lokasi transaksi gelap dan kegiatan
bawah tanah lainnya," kata Julia sambil berpikir keras. "Kita
harus waspada."
Beberapa menit kemudian, mereka melaju ke distrik pabrik yang
suram. Bangunan-bangunan tua berdiri seperti bayangan bisu dari
masa lalu, dibiarkan lapuk oleh waktu. Jalanan yang mereka lewati
dipenuhi dengan grafiti dan puing-puing yang berserakan, memberi
kesan tempat ini telah lama ditinggalkan oleh peradaban.
Sesampainya di lokasi yang ditentukan, mereka melihat sebuah
gedung tua yang megah namun sudah rusak parah. Jendelanya pecah,
dan pintu depannya hampir terlepas dari engselnya. Cahaya samar
dari jendela lantai atas menunjukkan bahwa ada orang di dalam.
Adrian dan Julia saling berpandangan, mengonfirmasi bahwa ini
adalah tempat yang mereka cari.
"Kau yakin ingin masuk?" tanya Julia, memegang senjatanya dengan
tangan yang sudah terbiasa menghadapi situasi berbahaya.
"Ini mungkin satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban," jawab
Adrian. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan
keberanian, lalu mulai melangkah menuju gedung tersebut.
Pintu berderit pelan saat Adrian membukanya. Di dalam, ruangan itu
gelap dan berdebu. Hanya beberapa lilin kecil yang menerangi
sudut-sudut ruangan, menciptakan bayangan yang panjang dan
menakutkan di dinding. Mereka berjalan perlahan, mengikuti jejak
cahaya yang lemah ke lantai atas.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lorong di depan
mereka. Adrian dan Julia segera siaga, senjata Julia terangkat,
matanya tajam mencari sumber suara.
"Aku datang sendirian," suara seorang pria terdengar dari
kegelapan. "Tidak perlu takut."
Dari ujung lorong, seorang pria bertubuh tegap muncul, mengenakan
mantel panjang yang kusut. Wajahnya tersembunyi di balik
bayang-bayang, tapi matanya tampak menatap Adrian dengan tajam.
"Siapa kau?" tanya Adrian dengan nada tegas.
Pria itu tersenyum tipis, meski senyum itu tidak menenangkan.
"Nama bukan hal penting. Yang penting adalah informasi yang kubawa
untukmu."
Julia tetap waspada, tidak menurunkan senjatanya. "Katakan apa
yang kau tahu tentang Samuel Mirza, atau kita keluar dari sini."
Pria itu mengangguk perlahan. "Aku mengerti kau tidak punya waktu
untuk bermain-main. Baiklah, aku akan langsung pada intinya.
Ayahmu terlibat dalam sesuatu yang lebih besar dari yang pernah
kau bayangkan, Adrian. Sama seperti Dr. Edelstein dan Blackwell,
Samuel Mirza adalah bagian dari eksperimen itu—eksperimen untuk
membuka pintu ke dunia lain."
Adrian merasa darahnya mendidih. "Ayahku tidak akan pernah
terlibat dalam hal-hal seperti itu."
Pria itu melangkah lebih dekat, suaranya semakin lembut namun
mengancam. "Itulah yang kau pikirkan. Tapi kenyataannya, dia
adalah salah satu yang memulai semuanya. Gerbang Keheningan tidak
akan pernah terbuka tanpa kontribusinya."
Adrian terdiam, merasa dadanya sesak. Sementara Julia, yang
berdiri di sisinya, semakin mempererat pegangan pada senjatanya.
"Buktikan," katanya, menantang pria itu.
Pria tersebut mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya dan
melemparkannya ke arah Adrian. "Di dalamnya ada dokumen-dokumen
yang mungkin akan mengubah cara pandangmu terhadap ayahmu. Ada
catatan eksperimen, korespondensi, dan lebih banyak lagi."
Adrian mengambil amplop itu dengan tangan gemetar, menatapnya
dengan penuh keraguan. "Mengapa kau memberiku ini?"
Pria itu tertawa kecil. "Karena ini belum berakhir, Adrian.
Pengorbanan Dr. Edelstein hanyalah permulaan. Ada banyak lagi yang
tersembunyi di balik bayangan, dan kau berada di tengah-tengahnya.
Ayahmu memulai ini, dan kau akan menyelesaikannya, entah kau siap
atau tidak."
Julia menatap Adrian, lalu kembali pada pria itu. "Apa yang
sebenarnya kau inginkan?"
Pria itu berbalik, melangkah kembali ke dalam kegelapan. "Waktunya
hampir habis. Siapkan dirimu untuk yang akan datang, karena kali
ini kau tidak bisa lari."
Sebelum mereka bisa menghentikannya, pria itu menghilang ke dalam
kegelapan, meninggalkan Adrian dan Julia berdiri di sana dengan
banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Adrian memandang amplop di tangannya dengan perasaan campur aduk.
Di dalam amplop itu, mungkin ada jawaban yang ia cari selama
bertahun-tahun—jawaban tentang hilangnya ayahnya, tentang
kegelapan yang mereka hadapi, dan mungkin tentang nasibnya
sendiri.
"Adrian," panggil Julia dengan suara lembut. "Kita harus pergi.
Tempat ini tidak aman."
Adrian mengangguk pelan, meskipun pikirannya masih tertinggal di
dalam gedung itu, bersama bayangan dari masa lalunya. Mereka
keluar dari bangunan tua itu dan kembali ke mobil, meninggalkan
tempat tersebut dalam keheningan yang mencekam.
Di dalam mobil, Julia menyalakan mesin dan melirik Adrian yang
masih memegang amplop tersebut dengan erat. "Apa yang akan kau
lakukan sekarang?" tanyanya.
Adrian membuka amplop itu perlahan, mengeluarkan beberapa dokumen
yang tampak lusuh. "Aku akan mencari tahu kebenaran," jawabnya
dengan suara penuh tekad. "Dan aku akan menemukan siapa yang
bertanggung jawab atas semua ini."
Mereka melaju kembali ke kota, meninggalkan bayangan di distrik
pabrik itu. Namun, Adrian tahu, bayangan itu akan terus menghantui
mereka. Dan kali ini, ia tidak akan tinggal diam.
Malam di kota terasa lebih dingin saat Adrian dan Julia kembali ke
apartemen Adrian. Jalanan sepi, hanya terdengar deru kendaraan
dari kejauhan. Di dalam, suasana terasa tegang. Adrian duduk di
meja, membuka amplop yang diberikan oleh pria misterius tadi.
Julia berdiri di dekat jendela, mengamati jalanan, tapi pikirannya
jelas terserap oleh apa yang akan mereka temukan.
Adrian mengeluarkan beberapa dokumen yang terlihat tua, sebagian
sudah menguning. Beberapa foto hitam putih jatuh dari dalam
amplop, menampilkan gambar-gambar orang-orang yang pernah bekerja
bersama ayahnya—salah satunya adalah Dr. Edelstein, yang kini
telah tiada. Namun, ada satu foto yang membuat darah Adrian
membeku.
"Itu... Ayahku," bisiknya.
Foto itu menampilkan Samuel Mirza di laboratorium, berdiri di
samping Edelstein dan beberapa ilmuwan lain. Mereka semua tampak
serius, dan di latar belakang terlihat papan tulis penuh dengan
rumus dan diagram yang tak bisa Adrian pahami.
Julia mendekat, melihat foto itu dengan seksama. "Jadi, ini benar.
Ayahmu terlibat lebih dalam dari yang kau kira."
Adrian menggelengkan kepala, mencoba menolak kenyataan yang ada di
hadapannya. "Aku tidak percaya. Ayahku tidak pernah menyebutkan
hal ini. Dia selalu menjadi orang yang adil, selalu berusaha
melindungi orang lain."
Julia menepuk pundaknya, memberinya dorongan. "Mungkin dia punya
alasan, Adrian. Kita harus membaca dokumen ini untuk mengetahui
apa yang sebenarnya terjadi."
Dengan hati-hati, Adrian mulai membuka dokumen-dokumen lain. Ada
catatan eksperimen, deskripsi teknis, dan beberapa surat pribadi
yang tampaknya berasal dari Samuel Mirza. Salah satu surat menarik
perhatian Adrian, tertulis dengan tangan ayahnya sendiri:
"Adrian, jika kau menemukan ini, berarti aku sudah gagal. Apa
yang telah kami mulai bertahun-tahun lalu tidak bisa dihentikan.
Aku mencoba mengakhiri semuanya, namun kekuatan yang lebih besar
bermain di balik layar. Aku menyesal tidak bisa menceritakan
semua ini lebih awal. Ini adalah beban yang tak ingin kuberikan
padamu. Jika kau membaca ini, ketahuilah bahwa kau harus lebih
berhati-hati. Jangan percayai siapa pun. Bahkan mereka yang
tampak seperti teman."
Surat itu berakhir tanpa tanda tangan, seolah ayahnya terpaksa
menulisnya dengan terburu-buru. Adrian terdiam, menggenggam surat
itu erat-erat, merasakan perasaan hampa di dalam dadanya.
"Dia tahu," gumam Adrian. "Ayahku tahu apa yang akan terjadi. Tapi
dia tidak bisa menghentikannya."
Julia menghela napas. "Ini lebih besar dari yang kita kira. Jika
ayahmu terlibat dari awal, maka kemungkinan besar dia juga tahu
banyak tentang Gerbang Keheningan dan organisasi di balik semua
ini."
Adrian meresapi kata-kata Julia. "Kita perlu menyusun semua
informasi yang kita punya. Kita tahu ada organisasi rahasia yang
menginginkan kekuatan dari dimensi lain. Kita tahu ayahku, Dr.
Edelstein, dan Blackwell semua terlibat. Tapi kenapa? Apa yang
mereka coba capai?"
Julia mengangkat salah satu catatan yang menguraikan eksperimen.
"Sepertinya mereka mencoba memanfaatkan energi dari dunia lain,
tapi aku tidak yakin apa tujuannya. Ada banyak istilah teknis di
sini yang tidak kumengerti."
Adrian menatap kertas itu dalam-dalam, mencoba memahami apa yang
diinginkan ayahnya dan para ilmuwan lainnya. "Ini bukan hanya
tentang ilmu pengetahuan. Mereka terobsesi. Mereka ingin membuka
pintu itu untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bahkan
mereka sendiri tidak mengerti sepenuhnya."
Julia mengangguk setuju. "Kita harus mencari tahu lebih banyak
tentang organisasi ini. Mungkin Mira Dastur bisa membantu lagi.
Dia sudah memiliki banyak informasi sebelumnya."
Adrian meraih ponselnya, mengetik pesan cepat kepada Mira. Ia
tidak bisa menunggu lebih lama lagi, karena setiap detik terasa
semakin mendekatkan mereka pada ancaman yang belum sepenuhnya
terlihat.
**
Keesokan paginya, mereka bertemu lagi dengan Mira di sebuah tempat
yang lebih aman, jauh dari pusat kota. Mira tampak tenang namun
waspada. Setelah mendengar semua yang telah ditemukan Adrian,
ekspresinya berubah serius.
"Ini sesuai dengan apa yang sudah kuduga," katanya pelan.
"Organisasi ini, yang sering disebut Ordo Bayangan, telah
bergerak di bawah radar selama beberapa dekade. Mereka memiliki
sumber daya yang tak terhitung dan banyak orang berkuasa di
dalamnya."
Adrian menatapnya dengan tegas. "Jadi apa yang mereka inginkan?
Apakah ini semua hanya tentang kekuatan? Tentang ilmu
pengetahuan?"
Mira tersenyum pahit. "Bukan hanya itu. Mereka menginginkan
kendali atas dunia lain—dimensi yang mereka percayai bisa
memberikan mereka kekuatan untuk mengubah dunia ini sesuai
keinginan mereka. Tapi ada satu hal yang mereka tidak sadari:
kekuatan itu tidak bisa dikendalikan. Setiap kali mereka mencoba,
akan ada konsekuensi yang lebih besar."
Julia menatap Mira dengan curiga. "Bagaimana kau tahu semua ini?"
Mira menatap Julia dengan tajam. "Aku sudah menyelidiki mereka
selama bertahun-tahun, Julia. Aku kehilangan banyak orang yang
kucintai dalam proses ini. Tapi aku berjanji untuk menghentikan
mereka, apa pun yang terjadi."
Adrian merasa beban di dadanya semakin berat. "Jika ayahku memang
bagian dari ini, aku harus tahu lebih banyak. Aku harus tahu apa
yang dia lakukan dan kenapa dia menghilang."
Mira mengangguk. "Dan kita akan mencarinya bersama. Tapi
hati-hati, Adrian. Mereka akan mulai mencari kalian juga. Kalian
sudah terlalu dekat dengan rahasia mereka."
Adrian menyadari bahwa ia tidak punya pilihan lain. Jika ayahnya
terlibat dalam hal ini, ia harus menghadapi kenyataan, tidak
peduli seberapa kelam dan berbahayanya. Dengan Mira dan Julia di
sisinya, Adrian merasa siap untuk menggali lebih dalam—ke dalam
bayangan yang semakin pekat dan penuh rahasia.
Langit di atas kota tampak kelabu saat Adrian, Julia, dan Mira
menyusun rencana mereka. Suara deru lalu lintas samar-samar
terdengar di kejauhan, namun di dalam apartemen yang
remang-remang, hanya ada ketegangan yang terus membayangi. Adrian
duduk dengan map yang masih terbuka di depannya, sementara Mira
berdiri di sudut ruangan dengan lengan bersilang, mengawasi
dokumen-dokumen itu seolah mereka bisa menjawab semua pertanyaan.
“Kita harus bergerak cepat,” kata Mira, memecah keheningan. “Ordo
Bayangan tidak akan diam saja setelah apa yang terjadi di pabrik
tua itu. Mereka pasti tahu kita sudah mendapatkan sesuatu.”
Julia menanggapi dengan tegas. “Kita sudah terlalu dalam untuk
mundur sekarang. Mereka akan memburu kita, dengan atau tanpa bukti
ini.”
Adrian mengangguk setuju, matanya fokus pada surat yang ditulis
ayahnya. “Surat ini mengatakan agar aku tidak mempercayai siapa
pun. Tapi aku percaya kalian berdua.” Dia menatap Mira dan Julia
bergantian. “Aku butuh kalian untuk melewati ini.”
Mira mendekat, duduk di meja di depan Adrian. “Kita akan melewati
ini bersama. Namun, kita butuh langkah berikutnya yang jelas.
Mereka punya kekuatan dan pengaruh besar. Satu langkah salah, dan
kita semua bisa terjebak.”
Julia berjalan mendekati peta yang sudah mereka tandai dengan
berbagai lokasi penting—laboratorium tempat ayah Adrian pernah
bekerja, pabrik tua, serta gedung-gedung lain yang mereka curigai
sebagai markas rahasia Ordo Bayangan. “Kita sudah punya informasi
yang cukup untuk memulai, tapi masih ada satu tempat yang belum
kita periksa. Gedung penelitian tua di luar kota, tempat ayahmu
dulu bekerja dengan Dr. Edelstein.”
Mata Adrian berkilat. “Aku ingat tempat itu. Ayah sering pergi ke
sana sebelum dia menghilang. Tapi aku tidak pernah tahu apa yang
mereka lakukan di sana.”
“Tempat itu sudah ditinggalkan bertahun-tahun lalu,” tambah Mira.
“Tapi sumber-sumberku mengatakan ada aktivitas baru-baru ini.
Mungkin mereka menggunakan fasilitas lama untuk melanjutkan
eksperimen mereka.”
Julia menatap Adrian. “Kita harus periksa tempat itu. Jika ada
jawaban tentang ayahmu, mungkin mereka ada di sana.”
**
Beberapa jam kemudian, mereka dalam perjalanan menuju gedung
penelitian yang terletak di pinggiran kota. Langit semakin gelap
saat mereka melaju melalui jalan-jalan yang sunyi. Hanya ada
sedikit kendaraan lain yang melintas, dan gedung-gedung yang
mereka lewati terlihat suram, seolah menyimpan cerita-cerita lama
yang tak pernah terungkap.
“Ada sesuatu yang aneh tentang tempat ini,” gumam Adrian saat
gedung penelitian mulai terlihat dari kejauhan. Bangunan itu
tampak besar, dengan dinding beton yang sudah retak dan tanaman
liar yang tumbuh di sekitar pintu masuknya. Tidak ada tanda-tanda
kehidupan di sekitar, namun suasana di sekitarnya terasa menekan.
Julia menghentikan mobil di kejauhan, memastikan mereka tidak
terlihat. “Kita harus masuk dengan hati-hati. Tidak ada yang tahu
apa yang menunggu di dalam.”
Mereka keluar dari mobil dengan senjata siap di tangan. Mira
membuka peta gedung tersebut, menunjukkan pintu masuk yang dulu
digunakan sebagai akses utama. “Kita bisa masuk lewat sini, tapi
kemungkinan besar mereka sudah menyiapkan jebakan.”
Adrian menarik napas dalam-dalam dan memandang gedung itu. “Apa
pun yang terjadi, aku harus menemukan kebenaran.”
Mereka bergerak dengan tenang, mendekati gedung melalui sisi yang
lebih gelap, menghindari sorotan lampu yang ada di bagian depan.
Pintu masuk utama ternyata terkunci, namun Julia dengan cepat
menemukan celah di dinding yang cukup besar untuk mereka masuki.
Begitu mereka masuk, suasana di dalam gedung terasa lebih sunyi
daripada di luar. Hanya ada suara angin yang berhembus melalui
celah-celah kecil di dinding, dan ruangan-ruangan kosong di
sekitar mereka seolah menyimpan rahasia-rahasia yang tak pernah
diungkap.
“Kita menuju ke lantai bawah,” bisik Mira. “Itu tempat mereka
menyimpan sebagian besar eksperimen.”
Dengan langkah hati-hati, mereka turun melalui tangga yang sempit
dan gelap. Semakin mereka turun, semakin terasa suasana yang
mencekam. Di bawah, lorong-lorong panjang terbentang, dipenuhi
dengan pintu-pintu yang terlihat seakan sudah lama tidak dibuka.
Julia berhenti sejenak, mendengarkan. “Ada sesuatu di sini. Kita
tidak sendirian.”
Adrian merasakan bulu kuduknya berdiri. “Mereka tahu kita datang.”
Mira mengeluarkan senter kecil dan menyoroti salah satu pintu di
depan mereka. “Kita harus cepat. Tempat ini mungkin sudah dijaga.”
Mereka melanjutkan perjalanan, hati-hati mendekati pintu-pintu
yang terkunci dan memeriksa setiap ruangan. Sampai akhirnya,
mereka tiba di ruangan terbesar di ujung lorong. Pintu itu sedikit
terbuka, dan cahaya redup mengintip dari dalam.
Adrian menelan ludah, lalu mendorong pintu itu lebih lebar.
Di dalamnya, mereka melihat ruangan yang penuh dengan peralatan
laboratorium dan dokumen-dokumen berserakan di meja. Namun, yang
paling menarik perhatian mereka adalah sebuah mesin besar di
tengah ruangan, terhubung ke berbagai kabel dan tabung yang
mengarah ke dinding-dinding ruangan.
“Apa ini?” tanya Adrian, mendekati mesin itu.
Mira menatapnya dengan pandangan penuh kekhawatiran. “Ini
sepertinya adalah prototipe untuk membuka Gerbang Keheningan.”
Julia, yang selalu waspada, menoleh cepat saat mendengar langkah
kaki mendekat. “Kita harus pergi. Sekarang.”
Namun sebelum mereka bisa bergerak, suara pintu di belakang mereka
tertutup rapat, dan dari bayangan, muncul sosok yang tak asing
lagi. Pria yang memberikan amplop kepada Adrian di pabrik tua
berdiri di sana, senyumnya dingin.
“Kalian benar-benar cepat sekali. Tapi kalian tidak akan ke
mana-mana lagi,” katanya dengan nada mengancam.
Adrian, Julia, dan Mira berdiri siaga. Mereka tahu, konfrontasi
ini akan menjadi titik krusial dalam pencarian mereka—dan mungkin
juga pertempuran untuk hidup mereka.
Wajah pria yang berdiri di depan pintu itu tidak menunjukkan rasa
takut. Senyum dingin di bibirnya semakin menegaskan bahwa dia
bukan sekadar utusan Ordo Bayangan. Adrian merasakan keheningan
berat yang mengisi ruangan saat pria itu bergerak maju, tubuhnya
tampak rileks, namun penuh dengan keyakinan bahwa ia memiliki
kendali penuh.
“Kalian tak tahu betapa pentingnya kalian dalam permainan ini,”
katanya, nadanya penuh ejekan.
“Tapi, tak apa. Aku akan
memberitahumu segera, Adrian.”
Adrian mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah yang mulai
menggelegak dalam dirinya. “Siapa kau? Kenapa kau terlibat dalam
semua ini?”
Pria itu menatap Adrian dengan mata dingin. “Namaku tidak penting.
Tapi peranmu, Adrian, sangat penting. Kau adalah kunci. Sama
seperti ayahmu.”
Mendengar nama ayahnya disebut, Adrian merasakan lonjakan emosi.
Julia dan Mira mengambil posisi defensif, mata mereka waspada.
Julia perlahan meraih senjata di pinggangnya, dan Mira diam-diam
memeriksa setiap sudut ruangan, mencari cara untuk keluar dari
situasi ini.
“Aku tidak akan membiarkan kau menyelesaikan apa pun yang sedang
kau rencanakan,” kata Adrian tegas.
Pria itu terkekeh, seakan Adrian adalah anak kecil yang tak tahu
apa-apa. “Kau bahkan tidak mengerti sebagian kecil dari apa yang
terjadi, Adrian. Ayahmu juga mencoba melawan. Tapi, pada akhirnya,
dia tunduk pada kekuatan yang lebih besar.”
Adrian mendekatkan diri pada pria itu, tapi Julia menarik
lengannya, menahannya agar tidak gegabah. “Dia hanya memancingmu,
Adrian. Jangan termakan ucapan bodohnya.”
Namun, sebelum Adrian bisa merespons, suara gemuruh rendah datang
dari mesin besar di tengah ruangan. Lampu-lampu di sekitarnya
mulai berkedip, dan mesin itu mulai menyala, menunjukkan
tanda-tanda bahwa sesuatu sedang diaktifkan.
“Gerbang Keheningan akan segera terbuka,” pria itu berkata dengan
nada puas. “Kalian tidak bisa menghentikannya.”
Mira menatap mesin itu dengan penuh ketegangan. “Adrian, kita
harus menghentikan mesin ini sekarang juga. Jika mereka berhasil
membuka gerbang, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi.”
Tanpa peringatan, pria itu mengeluarkan pisau panjang dari balik
mantelnya dan menyerang dengan kecepatan yang luar biasa. Julia
langsung bereaksi, mendorong Adrian ke samping dan menangkis
serangan pria itu dengan senjatanya. Mereka terlibat dalam
pertarungan sengit di tengah ruangan yang kini penuh dengan suara
mesin yang semakin keras.
Adrian tersungkur ke lantai, dengan cepat meraih sebuah tongkat
besi yang tergeletak di dekatnya, berusaha bangkit kembali.
Sementara itu, Mira berlari ke arah mesin, mencoba menemukan cara
untuk menghentikannya sebelum terlambat.
“Julia, hati-hati!” teriak Adrian saat Julia menangkis tebasan
pria itu. Dia bergerak cepat, namun pria itu lebih cepat lagi,
menyerang dengan gerakan yang presisi dan mematikan.
Dengan satu tendangan keras, Julia terpental ke belakang,
membentur dinding. Pria itu memanfaatkan momen itu untuk mendekati
Adrian, pisau di tangannya berkilau dalam cahaya mesin yang terus
bergetar.
“Kau tidak akan bisa lari dari takdirmu, Adrian,” katanya dingin.
“Gerbang ini harus dibuka. Dunia kita sudah terlalu lama terkunci
dari kekuatan sejati.”
Adrian melihat pisau itu datang, tapi refleksnya lebih cepat. Dia
menangkis serangan itu dengan tongkat besi, membuat pria itu
sedikit mundur. “Aku bukan ayahku,” bisiknya dengan penuh
determinasi. “Dan aku tidak akan menyerah seperti dia.”
Di sisi lain ruangan, Mira akhirnya menemukan panel kontrol mesin.
Tangannya bergerak cepat, menekan beberapa tombol, berusaha
mematikan sistem sebelum semuanya terlambat. Tapi mesin itu sudah
aktif, energi mulai memancar dari dalamnya, membuat suasana di
sekitar semakin mencekam.
“Gerbang ini sudah diaktifkan,” pria itu tertawa kecil. “Kalian
semua terlambat. Hanya masalah waktu sebelum semuanya berubah.”
Julia yang mulai bangkit dari benturan kerasnya, melihat peluang
dan dengan sigap menembakkan senjatanya ke arah pria itu. Satu
tembakan meleset, namun tembakan kedua mengenai bahu pria itu,
membuatnya terhuyung.
“Kau mungkin punya rencana, tapi aku tidak akan membiarkanmu
berhasil,” kata Julia, suaranya penuh dengan tekad.
Pria itu tersenyum, meskipun darah mengalir dari lukanya. “Ini
hanya sementara. Kalian tidak mengerti. Kalian semua bagian dari
sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pertarungan ini.”
Adrian memanfaatkan momen itu untuk meraih pria tersebut dan
menjatuhkannya ke lantai. Dengan tongkat besinya, Adrian menekan
pria itu, menahannya agar tidak bisa bangkit kembali.
Mira, yang terus berjuang di panel kontrol, akhirnya menemukan
saklar utama. Dengan satu tarikan keras, dia mematikan aliran
energi mesin itu. Suara gemuruh perlahan-lahan menghilang, dan
lampu-lampu di ruangan mulai meredup.
“Berhasil!” teriak Mira. Namun kegembiraan itu tak berlangsung
lama. Mesin berhenti, tapi getaran aneh masih terasa di udara,
seolah ada sesuatu yang lain yang terbangun di balik kenyataan.
Pria itu tertawa, meskipun dalam posisi terpojok. “Kalian pikir
kalian menang? Ini baru permulaan.”
Sebelum Adrian bisa merespons, ruangan tiba-tiba menjadi dingin,
dan dari dalam mesin yang kini mati, muncul suara-suara aneh.
Seolah dari kedalaman yang jauh, sesuatu mulai bergerak, siap
menerobos batas antara dunia ini dan dunia lain.
Julia menatap Adrian dengan cemas. “Kita harus keluar dari sini,
sekarang.”
Mira setuju, namun saat mereka berbalik untuk pergi, pintu di
belakang mereka kembali tertutup dengan keras. Suara dari mesin
semakin intens, dan bayangan aneh mulai muncul di dinding-dinding
ruangan, bergerak dengan cara yang tidak masuk akal.
“Kita belum selesai,” kata pria itu dengan senyum penuh rahasia.
“Gerbang itu... sudah terbuka.”
Adrian menatap mesin itu dengan ngeri. Apa yang telah mereka
lakukan? Dan apakah mereka benar-benar bisa menutup kembali pintu
yang kini terbuka lebar bagi sesuatu yang tidak mereka pahami?
Adrian, Julia, dan Mira berdiri diam, terpaku pada
bayangan-bayangan yang bergerak di sekitar mereka. Udara dingin
terasa semakin menusuk, seakan ada kekuatan lain yang mulai
merasuk ke dalam ruangan. Ruang laboratorium yang sebelumnya penuh
dengan peralatan kini seolah menjadi sebuah medan pertempuran yang
mencekam.
“Ini tidak mungkin...” gumam Mira pelan, matanya tak lepas dari
mesin besar di tengah ruangan. “Aku sudah mematikan mesinnya.”
Adrian berusaha tetap tenang, meskipun hatinya berdebar kencang.
“Mungkin kita mematikan mesinnya, tapi kita gagal menghentikan apa
pun yang ada di balik gerbang itu.”
Julia, dengan tatapan waspada, meraih senjatanya lagi dan
mengarahkannya ke bayangan yang kini mulai mengambil bentuk yang
lebih nyata. “Kita harus keluar dari sini sekarang. Tempat ini
semakin tidak aman.”
Adrian melangkah mundur, namun pintu di belakang mereka tetap
tertutup rapat, seolah dikendalikan oleh kekuatan yang tidak
terlihat. Mereka terjebak.
**
Di luar, malam semakin pekat, dan suasana di sekitar gedung
penelitian itu semakin mencekam. Angin bertiup kencang, membawa
suara-suara aneh yang seolah berasal dari dimensi lain. Di
kejauhan, lampu-lampu kota masih menyala samar, namun gedung
penelitian ini kini terasa sepenuhnya terisolasi dari dunia luar.
“Kita tidak bisa keluar lewat jalan yang sama,” kata Mira,
pandangannya terus tertuju pada pintu yang tertutup rapat. “Harus
ada jalan lain.”
Pria yang terluka di lantai tertawa kecil, suaranya bergaung di
dalam ruangan yang sunyi. “Gerbang Keheningan sudah terbuka...
Tidak ada yang bisa kalian lakukan untuk menghentikannya
sekarang.”
Adrian memandangnya tajam. “Apa yang kau maksud dengan Gerbang
Keheningan? Apa yang sebenarnya sedang kalian coba lakukan?”
Pria itu menatap Adrian dengan mata yang penuh kebencian. “Ordo
Bayangan telah bekerja selama puluhan tahun untuk membuka jalan
menuju kekuatan yang lebih besar dari apa pun yang bisa kau
bayangkan. Ayahmu... dia juga bagian dari rencana ini. Tapi dia
terlalu pengecut untuk menyelesaikannya.”
“Ayahku tidak pernah setuju dengan ini,” balas Adrian dengan
tegas. “Dia menghilang karena dia tahu apa yang kalian lakukan
salah.”
Pria itu tersenyum tipis. “Kau terlalu naif, Adrian. Ayahmu tidak
menghilang... dia dikorbankan.”
Kata-kata itu menghantam Adrian dengan keras. Seluruh tubuhnya
terasa beku, pikirannya berputar-putar mencari kebenaran. Tapi
sebelum ia bisa mencerna lebih lanjut, suara gemuruh datang dari
mesin yang kini mati, seolah ada sesuatu yang mencoba memaksa
keluar dari dalamnya.
**
Suara keras bergema di seluruh ruangan, diikuti oleh retakan di
lantai beton. Mereka semua mundur dengan cepat saat sebuah celah
besar terbuka di tengah ruangan. Dari dalam celah itu, cahaya aneh
berpendar, dan bayangan-bayangan mulai merangkak keluar, membentuk
sosok-sosok yang semakin nyata.
Julia mengarahkan senjatanya ke salah satu bayangan, menembakkan
beberapa peluru, namun pelurunya seolah tidak mempan. “Adrian, ini
buruk. Kita tidak bisa melawan mereka.”
Mira, yang sejak tadi mencoba menenangkan pikirannya, akhirnya
berteriak. “Kita harus mencari cara menutup celah ini! Mesin ini
pasti punya mekanisme untuk itu.”
Adrian menatap mesin yang mati di tengah ruangan, hatinya dipenuhi
dengan kebingungan. “Bagaimana cara kita menutupnya jika mesinnya
sudah mati?”
Namun sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, bayangan-bayangan
itu mulai mendekat dengan cepat. Salah satu dari mereka menyerang,
hampir mengenai Julia, namun dia berhasil menghindar tepat waktu.
“Tidak ada waktu!” teriak Julia, matanya terus waspada terhadap
ancaman yang datang. “Kita harus bergerak sekarang!”
Adrian berlari menuju panel kontrol mesin, mencoba memahami
mekanisme yang mungkin bisa menghentikan bencana ini.
Tangan-tangannya bergerak cepat, namun dia tidak tahu pasti apa
yang harus dilakukan. Di belakangnya, Mira dan Julia berusaha
menahan bayangan-bayangan yang semakin banyak, meskipun upaya
mereka tampak sia-sia.
**
Tiba-tiba, suara pintu yang terkunci terbuka lebar, dan sosok yang
tidak terduga muncul. Dr. Markus Edelstein, dengan wajah tegas dan
tenang, masuk ke dalam ruangan. “Kalian semua harus keluar dari
sini sekarang,” suaranya penuh otoritas.
Adrian terkejut melihatnya, namun tidak ada waktu untuk bertanya.
“Bagaimana cara kita menutup celah ini?”
Dr. Edelstein memandang celah itu dengan penuh ketenangan. “Hanya
ada satu cara. Kalian harus menghentikan ritual yang dimulai di
balik gerbang itu. Mesin ini adalah kuncinya, tapi ritual itu—itu
adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.”
Julia memandangnya dengan penuh kecurigaan. “Dan bagaimana kami
bisa mempercayaimu?”
Dr. Edelstein menatap Julia dengan dingin. “Kalian tidak punya
pilihan lain.”
Tanpa menunggu persetujuan, Dr. Edelstein mulai bekerja di panel
kontrol mesin, tangannya bergerak dengan cepat dan penuh
keyakinan. “Aku bisa memperlambat pembukaan gerbang ini, tapi
kalian harus pergi ke sumber masalahnya. Tempat ini... adalah
pintu depan. Tapi gerbang sebenarnya ada di bawah.”
Adrian, meskipun ragu, mengangguk. “Apa yang harus kita lakukan?”
Dr. Edelstein melirik ke arah lorong-lorong gelap yang ada di
bawah ruangan ini. “Kalian harus pergi ke ruang ritual di bawah
tanah dan menghancurkan segel yang mereka gunakan. Itu
satu-satunya cara untuk menutup gerbang ini.”
Julia dan Mira menatap Adrian, dan tanpa berkata-kata, mereka tahu
apa yang harus dilakukan. Mereka tidak punya banyak waktu. Mesin
ini mungkin bisa memperlambat proses, tapi mereka harus segera
bergerak ke bawah, ke tempat di mana segalanya dimulai.
“Semoga kita tidak terlambat,” gumam Adrian saat mereka bergerak
menuju pintu yang mengarah ke bawah tanah, meninggalkan Dr.
Edelstein yang terus berusaha menahan bencana yang semakin dekat.
Lorong-lorong yang membentang di bawah tanah terasa dingin dan
gelap, dipenuhi bayangan yang bergerak aneh. Setiap langkah
Adrian, Julia, dan Mira bergema dalam kesunyian yang menyesakkan.
Cahaya dari lentera yang mereka bawa hanya menyinari sebagian
kecil dari jalan yang seolah tak berujung itu.
“Aku tidak suka tempat ini,” bisik Julia, memecah keheningan.
“Terlalu sepi... seolah-olah kegelapan ini hidup.”
Adrian diam, pikirannya berkecamuk dengan berbagai pertanyaan
tentang ayahnya, Ordo Bayangan, dan Gerbang Keheningan. Namun satu
hal yang jelas baginya: mereka harus menghentikan ritual ini
sebelum semuanya terlambat.
Mira memegang lentera dengan erat, matanya fokus pada jalan di
depan. “Dr. Edelstein bilang ada ruang ritual di bawah sini. Tapi
kita belum tahu pasti di mana letaknya.”
“Dia terlihat tahu banyak,” gumam Adrian, sedikit curiga. “Kenapa
dia ada di sana? Dan kenapa dia membantu kita?”
Julia mendengus pelan. “Entah dia membantu kita atau punya
agendanya sendiri. Tapi saat ini, kita tidak punya pilihan lain.”
Mereka terus bergerak melalui lorong berliku, hingga akhirnya tiba
di sebuah pintu besi tua yang terlihat seperti tidak pernah dibuka
selama puluhan tahun. Udara di sekitarnya terasa semakin berat,
seolah sesuatu yang gelap dan jahat bersembunyi di balik pintu
itu.
“Ini dia,” bisik Adrian, suaranya nyaris tak terdengar.
**
Mereka bertiga berdiri di depan pintu, ragu-ragu sejenak. Julia
menyarungkan senjatanya dan dengan cepat meraih pegangan pintu
yang berkarat. Dia menariknya dengan keras, dan dengan suara yang
berderit tajam, pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan
besar di baliknya.
Ruangan ritual itu dipenuhi dengan simbol-simbol aneh yang terukir
di dinding dan lantai. Di tengahnya, terdapat sebuah lingkaran
besar yang dipenuhi dengan batu permata hitam yang bersinar samar.
Getaran aneh terasa di udara, seolah energi gelap mengalir di
dalam ruangan itu.
Mira melangkah masuk lebih dulu, pandangannya penuh kewaspadaan.
“Ini pasti tempatnya. Ritual ini menggunakan segel batu permata
hitam itu.”
Adrian dan Julia mengikuti Mira masuk, hati-hati agar tidak
menyentuh apa pun. Mata mereka berusaha memahami setiap detail
dalam ruangan itu. Di tengah lingkaran, terdapat sebuah altar batu
kecil dengan gulungan kertas kuno yang diletakkan di atasnya.
“Apa ini bagian dari segel?” tanya Julia, mendekati altar.
Adrian menatap gulungan itu dengan hati-hati. “Mungkin ini adalah
mantra yang mereka gunakan untuk membuka gerbang. Kalau kita bisa
menghancurkannya, mungkin kita bisa menghentikan semuanya.”
Mira memeriksa lingkaran di lantai, menyentuh salah satu batu
hitam dengan perlahan. “Batu-batu ini terhubung dengan energi dari
gerbang. Jika kita menghancurkannya, segelnya mungkin akan
runtuh.”
**
Tiba-tiba, ruangan berguncang hebat. Suara-suara yang aneh dan
tidak manusiawi terdengar di udara, seolah sesuatu mencoba
menerobos dari balik dimensi lain. Cahaya hitam dari batu permata
semakin terang, dan bayangan-bayangan aneh mulai muncul di
sekeliling mereka.
“Kita tidak punya waktu!” teriak Julia. “Lakukan sesuatu!”
Adrian, tanpa berpikir panjang, meraih salah satu batu permata
hitam dan melemparkannya ke lantai dengan sekuat tenaga. Batu itu
pecah menjadi beberapa bagian, dan sesaat setelah itu, salah satu
bayangan yang mendekati mereka menghilang.
“Itu berhasil!” seru Mira. “Hancurkan semuanya!”
Mereka bertiga segera bergerak, menghancurkan batu permata hitam
yang ada di lantai satu per satu. Setiap kali salah satu batu
dihancurkan, getaran di ruangan semakin kuat, dan bayangan yang
menghantui mereka perlahan memudar.
Namun, setelah beberapa batu berhasil dihancurkan, getaran di
ruangan berubah menjadi lebih kuat. Altar batu di tengah ruangan
mulai bersinar terang, dan dari dalam gulungan kuno, muncul sebuah
suara—dalam bahasa kuno yang tidak bisa mereka pahami.
“Ada yang salah,” kata Adrian, tatapannya tertuju pada altar.
“Ritualnya belum berhenti!”
Mira menatap altar itu dengan cemas. “Mungkin gulungan itu adalah
inti dari ritualnya. Kita harus menghancurkannya!”
Tanpa ragu, Adrian melangkah ke altar dan meraih gulungan kuno
itu. Saat tangannya menyentuhnya, dia merasakan getaran aneh,
seolah sesuatu mencoba masuk ke dalam pikirannya. Suara-suara
asing berbisik di telinganya, memanggil namanya dengan lembut
namun mematikan.
“Adrian, cepat!” teriak Julia.
Dengan kekuatan terakhirnya, Adrian menghancurkan gulungan itu,
merobeknya menjadi dua bagian. Cahaya dari altar seketika padam,
dan suara-suara aneh itu berhenti. Namun, ruangan masih terasa
penuh dengan energi yang tidak stabil.
Mira berlari ke arah altar, memeriksa sisa-sisa gulungan. “Kita
mungkin telah menghentikan ritual ini, tapi aku tidak yakin apakah
segelnya benar-benar tertutup.”
Julia menatap lingkaran yang kini retak di lantai. “Setidaknya,
kita menghentikan mereka untuk membuka gerbang sepenuhnya. Tapi
sesuatu masih terasa salah.”
Sebelum mereka bisa merenungkan lebih lanjut, getaran kuat
terakhir mengguncang ruangan. Batu-batu di sekeliling mereka mulai
runtuh, dan dinding-dinding retak semakin lebar.
“Kita harus keluar dari sini, sekarang!” teriak Adrian.
Mereka bertiga berlari menuju pintu, berusaha keluar sebelum
reruntuhan menimpa mereka. Suara gemuruh terus mengikuti di
belakang, seolah ruang ritual itu akan runtuh kapan saja.
**
Di luar, saat mereka berhasil mencapai lorong yang lebih aman,
suara gemuruh perlahan menghilang. Mereka berdiri diam,
terengah-engah, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Tempat itu terasa lebih tenang, tapi suasana aneh masih
menggantung di udara.
“Kita mungkin telah menghentikan ritualnya,” kata Adrian, napasnya
masih berat. “Tapi sesuatu memberitahuku kalau ini belum selesai.”
Julia menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Apa pun yang kita
hadapi, ini hanya permulaan.”
Mira mengangguk setuju. “Kita mungkin menutup gerbang untuk
sementara, tapi Ordo Bayangan masih di luar sana. Mereka tidak
akan berhenti hanya karena ini.”
Adrian menatap ke arah pintu yang baru saja mereka tinggalkan,
hatinya masih dipenuhi dengan kekhawatiran. Di balik semua itu,
satu pertanyaan besar masih membebani pikirannya—apa yang
sebenarnya terjadi pada ayahnya? Dan apa lagi yang Ordo Bayangan
rencanakan?
Malam telah jatuh ketika mereka akhirnya mencapai permukaan,
meninggalkan lorong-lorong gelap yang kini terasa seperti mimpi
buruk yang nyata. Mereka berdiri di tepi hutan, cahaya bulan
menyinari tanah yang masih basah oleh hujan sebelumnya. Udara
dingin menyelimuti tubuh mereka, namun pikiran Adrian, Julia, dan
Mira jauh lebih gelisah daripada sekadar cuaca yang menusuk.
“Kita harus segera menemukan Dr. Edelstein,” kata Mira sambil
mengatur napas. “Dia mungkin satu-satunya yang tahu langkah
selanjutnya.”
Julia menatap Adrian dengan tatapan penuh pertanyaan. “Apakah kau
mempercayainya? Setelah semua yang kita alami, aku masih merasa
ada yang disembunyikannya.”
Adrian terdiam sejenak, matanya menyapu gelapnya malam di depan
mereka. “Aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya. Tapi dia
satu-satunya orang yang tampaknya mengerti cara kerja Ordo
Bayangan. Kita tak punya banyak pilihan.”
Suara ranting yang patah tiba-tiba terdengar dari arah hutan,
membuat mereka bertiga waspada. Julia meraih senjatanya, bersiap
menghadapi apa pun yang mungkin datang. Namun, yang muncul dari
balik bayangan pohon adalah sosok yang familiar—Dr. Markus
Edelstein, dengan tongkatnya yang mencolok meskipun dia tidak
benar-benar membutuhkannya.
“Aku menunggumu,” katanya dengan tenang, tatapannya tajam seperti
biasa. “Bagaimana ritualnya? Apakah kalian berhasil
menghentikannya?”
Adrian mengangguk, meski dengan rasa ragu yang masih membebani
pikirannya. “Kami menghancurkan batu-batu permata dan gulungan
kuno itu. Tapi ada sesuatu yang masih terasa salah. Seperti ritual
itu belum benar-benar selesai.”
Dr. Edelstein mengusap dagunya, ekspresinya sedikit merenung. “Itu
masuk akal. Ordo Bayangan tidak akan meninggalkan sesuatu yang
begitu penting tanpa lapisan perlindungan tambahan. Mereka mungkin
telah menyiapkan mekanisme cadangan, sesuatu yang kita belum
sadari.”
“Kita sudah menghentikan mereka membuka Gerbang Keheningan,”
tambah Julia, masih memandang Edelstein dengan penuh kecurigaan.
“Tapi berapa lama sebelum mereka mencoba lagi?”
“Tidak lama,” jawab Edelstein singkat. “Ordo Bayangan tidak akan
berhenti. Mereka telah menunggu selama berabad-abad untuk
kesempatan ini. Apa yang kalian lakukan mungkin hanya menunda,
bukan menghentikan sepenuhnya.”
Mira mendekat, sorot matanya penuh tanya. “Apa yang harus kita
lakukan sekarang? Mereka pasti akan mencoba lagi, dan kali ini
mereka mungkin akan lebih waspada.”
Dr. Edelstein tersenyum tipis, tapi itu bukan senyuman yang
menenangkan. “Kalian telah membuat mereka marah, itu pasti. Tapi
ini juga memberi kita kesempatan. Satu-satunya cara untuk
menghentikan mereka sepenuhnya adalah dengan menemukan inti
kekuatan mereka—artefak kuno yang mereka sembunyikan di suatu
tempat. Tanpa itu, mereka tak akan bisa melanjutkan ritual.”
“Artefak kuno?” tanya Adrian, mengerutkan kening. “Apa itu?”
“Benda itu disebut Jantung Kegelapan,” jawab
Edelstein dengan suara rendah. “Sebuah artefak dari zaman dahulu
kala, yang diyakini sebagai sumber kekuatan utama Ordo Bayangan.
Mereka menggunakannya untuk memperkuat ritual dan memperlebar
celah antara dunia kita dan yang lainnya. Jika kita bisa
menemukannya dan menghancurkannya, kita bisa menghentikan mereka
untuk selamanya.”
Julia mengangkat alis, skeptis. “Dan kau tahu di mana letaknya?”
Edelstein memandang mereka dengan serius. “Tidak ada yang tahu
pasti. Tapi aku memiliki beberapa petunjuk. Tempatnya tersembunyi
di suatu lokasi yang hanya bisa ditemukan melalui serangkaian
jejak tersembunyi. Dan jejak pertama... ada di salah satu kuil
kuno di pegunungan utara.”
Adrian merasa ada sesuatu yang aneh dengan rencana ini, tapi dia
juga tahu bahwa mereka tak punya banyak pilihan. Waktu mereka
terbatas, dan semakin lama mereka menunggu, semakin kuat Ordo
Bayangan akan menjadi.
“Kita harus pergi ke sana,” kata Adrian, memutuskan. “Jika Jantung
Kegelapan adalah kunci untuk menghentikan semuanya, kita tak bisa
menunggu lebih lama lagi.”
Julia menyetujui, meskipun dengan enggan. “Baik, tapi kita harus
tetap waspada. Ordo Bayangan pasti akan mengejar kita begitu
mereka tahu kita mendekati sumber kekuatan mereka.”
Mira menatap Dr. Edelstein dengan tajam. “Dan bagaimana denganmu,
Dr. Edelstein? Apakah kau benar-benar bersama kita, atau kau punya
agenda lain?”
Edelstein tertawa kecil, meski matanya tetap dingin. “Aku di sini
untuk menghentikan Ordo Bayangan, seperti kalian. Tapi itu bukan
berarti kita tidak punya rahasia masing-masing. Yang penting
adalah kita memiliki tujuan yang sama untuk saat ini.”
Adrian mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan
kecurigaan. Dia tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil
sekarang semakin dekat dengan jawaban—dan mungkin juga bahaya yang
lebih besar. Namun, dia tidak bisa mundur. Ordo Bayangan harus
dihentikan, apa pun risikonya.
Mereka bertiga—Adrian, Julia, dan Mira—bersiap untuk perjalanan
mereka berikutnya ke pegunungan utara, dengan Dr. Edelstein di
belakang mereka, tetap tenang namun penuh dengan misteri. Di
kejauhan, bayangan gelap mengintai, seolah mengetahui langkah
berikut mereka.
Dan perang yang sebenarnya baru saja dimulai.
Angin pegunungan yang dingin menerpa wajah mereka saat rombongan
Adrian, Julia, Mira, dan Dr. Edelstein mulai mendaki menuju kuil
kuno di puncak gunung. Hutan yang lebat kini berganti dengan
lanskap berbatu yang tandus, dihiasi oleh pohon-pohon kerdil dan
rerumputan yang jarang. Langit di atas mereka suram, dan kabut
tipis melayang di antara tebing-tebing curam, menambah suasana
misteri yang membayangi perjalanan mereka.
Mereka berjalan dalam diam, fokus pada misi yang diemban. Namun,
kegelisahan yang tak terucapkan menggantung di antara mereka,
terutama ketika mereka memikirkan Jantung Kegelapan—artefak yang
mungkin menjadi kunci untuk menghancurkan Ordo Bayangan. Adrian,
yang berada di depan, tak bisa mengabaikan perasaan bahwa mereka
sedang diawasi.
“Adrian,” suara Dr. Edelstein tiba-tiba memecah keheningan. “Ada
sesuatu yang harus kau tahu sebelum kita tiba di kuil.”
Adrian menoleh, melihat ekspresi serius di wajah sang profesor.
“Apa itu?”
“Kuil ini... bukan tempat biasa. Itu dibangun oleh peradaban kuno
yang telah hilang, yang dikenal sebagai
Sang Pengamat. Mereka adalah penjaga keseimbangan
antara dunia kita dan dimensi lain, tapi mereka menghilang ribuan
tahun lalu—mungkin karena kekuatan Jantung Kegelapan.”
Mira melirik ke arah Edelstein, alisnya terangkat. “Jadi, kau
ingin mengatakan bahwa kuil ini penuh dengan jebakan atau makhluk
yang telah lama mati, tapi masih berbahaya?”
Edelstein mengangguk pelan. “Itu mungkin. Kuil ini memiliki
lapisan perlindungan, dan tak semua orang bisa masuk. Tapi karena
kalian sudah menghentikan ritual di Gerbang Keheningan, aku
percaya kalian cukup kuat untuk menghadapi apa yang ada di dalam
sana.”
Julia, yang selama ini hanya mendengarkan, akhirnya berbicara.
“Kau belum menjawab pertanyaan penting. Apa kau pernah ke kuil ini
sebelumnya?”
Edelstein terdiam sejenak sebelum menjawab. “Belum pernah. Tapi
aku sudah mempelajari semua teks kuno tentang tempat ini. Jejak
yang kita cari ada di sana, aku yakin.”
Mereka melanjutkan perjalanan tanpa berbicara lebih lanjut, namun
pertanyaan-pertanyaan di kepala mereka terus berputar, tak
menemukan jawaban yang pasti. Pemandangan gunung di sekitar mereka
semakin liar, dan jalan yang mereka lewati semakin sulit.
**
Setelah beberapa jam mendaki, mereka akhirnya mencapai bagian atas
tebing yang memperlihatkan pintu masuk kuil kuno. Bangunan itu
tampak seperti terbuat dari batu hitam yang keras, dan meski waktu
telah menggerogoti beberapa bagiannya, struktur tersebut masih
berdiri dengan megah dan menakutkan. Di atas pintu masuk, ukiran
simbol-simbol yang tidak dikenal terpahat dalam dinding batu.
Adrian menatap simbol-simbol itu, merasa bahwa ia pernah melihat
pola serupa dalam buku catatan ayahnya, namun ia tidak bisa
mengingat di mana tepatnya. Ada sesuatu tentang ukiran itu yang
membuatnya merasa tidak nyaman.
"Kita masuk?” tanya Julia, memecah kebisuan.
“Tidak ada pilihan lain,” jawab Adrian sambil melangkah mendekati
pintu.
**
Mereka memasuki kuil dengan hati-hati. Begitu melewati pintu batu
yang berat, suasana di dalam terasa jauh lebih menekan. Udara di
sana terasa lebih tebal, hampir seolah penuh dengan energi yang
tidak terlihat namun terasa.
Lorong di dalam kuil dipenuhi dengan simbol-simbol aneh, beberapa
di antaranya tampak memudar oleh waktu. Di kedua sisi lorong,
patung-patung penjaga berdiri diam, matanya yang kosong menatap ke
depan dengan sorot yang seolah mengikuti setiap gerakan mereka.
“Jadi, apa yang kita cari?” tanya Mira, suaranya berbisik.
“Jejak pertama,” jawab Edelstein, suaranya datar. “Sesuatu yang
akan memberi kita petunjuk menuju tempat Jantung Kegelapan
disembunyikan.”
“Dan kau yakin itu ada di sini?” Julia bertanya dengan nada
skeptis.
“Ada teks kuno yang merujuk ke kuil ini sebagai salah satu dari
‘Tujuh Pintu’. Setiap pintu memegang petunjuk yang harus disatukan
untuk menemukan Jantung Kegelapan. Ini hanya yang pertama.”
Adrian mendekati salah satu dinding yang dipenuhi ukiran.
Tangan-tangannya menyentuh batu-batu itu, merasakan getaran halus
yang datang dari dalam. Ada sesuatu yang salah. Simbol-simbol itu
bukan sekadar hiasan. Mereka hidup—bergerak pelan seperti ular
yang sedang menggeliat.
“Lihat ini,” kata Adrian dengan nada waspada.
Mira dan Julia mendekat, memperhatikan pergerakan simbol yang
samar. Dr. Edelstein juga mendekat, matanya berbinar saat melihat
keajaiban kuno itu.
“Ini adalah mekanisme,” kata Edelstein dengan semangat. “Ini
menunjukkan jalur yang harus kita tempuh. Kita sedang di jalur
yang benar.”
Tiba-tiba, suara keras menggema dari ujung lorong. Suara pintu
batu yang terbuka. Suara itu diikuti oleh gemerincing rantai logam
dan langkah kaki yang berat.
Julia mengangkat senjatanya dengan cepat. “Apa itu?”
Edelstein tampak tenang, namun ekspresinya sedikit mengeras.
“Penjaga.”
Dari kegelapan di ujung lorong, muncul sosok besar—sebuah patung
batu yang hidup, dilengkapi dengan senjata kuno yang tajam.
Matanya yang bersinar merah mengunci ke arah mereka.
“Lari!” teriak Adrian, sadar bahwa mereka tak mungkin bisa melawan
makhluk sebesar itu dengan mudah.
Mereka berlari menyusuri lorong, diikuti oleh gemuruh langkah
berat si Penjaga. Setiap detik terasa seperti perlombaan melawan
waktu, dan satu kesalahan bisa berarti akhir dari perjalanan
mereka.
Ketika mereka mencapai persimpangan, Adrian melihat sesuatu di
lantai—sebuah pola lingkaran yang berbeda dari yang lain. Dia
segera mengenali pola itu dari catatan ayahnya. Tanpa berpikir
panjang, dia menarik Mira dan Julia ke lingkaran itu.
Edelstein, yang berada di belakang, melompat ke dalam lingkaran
tepat sebelum patung raksasa itu mencapai mereka.
Sekejap mata, lantai di bawah mereka bergetar, dan sebelum mereka
menyadarinya, mereka diselimuti oleh cahaya terang. Ruang di
sekitar mereka berubah—lorong kuil menghilang, dan mereka kini
berdiri di dalam sebuah ruangan yang berbeda. Ruangan itu kosong,
hanya ada satu meja batu di tengahnya dengan sebuah gulungan kuno
yang tergeletak di atasnya.
Edelstein tersenyum puas. “Jejak pertama. Kita berhasil.”
Namun Adrian tidak merasakan kepuasan yang sama. Ada sesuatu yang
salah—perasaan gelap yang semakin kuat di dalam dirinya, seperti
ada sesuatu yang tak terhindarkan sedang menunggu di luar sana.
Dan ia tahu, perjuangan mereka baru saja dimulai.
Kedalaman keheningan ruangan itu menghantui. Cahaya dari obor yang
mereka bawa menari-nari di dinding batu yang dingin, menciptakan
bayangan yang bergerak pelan di sekitar mereka. Meja batu di
tengah ruangan terlihat seperti peninggalan dari masa lampau yang
terlupakan. Gulungan kuno di atasnya tampak bersih, seolah-olah
waktu tidak pernah menyentuhnya.
Adrian melangkah mendekat, perasaan gelisah dalam dirinya semakin
menjadi. “Kau yakin ini adalah jejak pertama?” tanyanya, suaranya
hampir berbisik.
Dr. Edelstein mengangguk sambil menatap gulungan itu dengan penuh
perhatian. “Ini sesuai dengan semua catatan yang kubaca. Gulungan
ini mungkin berisi petunjuk untuk menemukan pintu berikutnya.”
Mira berjalan mengelilingi meja, mengamati setiap sudut ruangan
yang tampak sepi namun penuh dengan rahasia tersembunyi. “Apa yang
membuat tempat ini terasa begitu… salah?” gumamnya. “Seperti ada
sesuatu yang mengintai di setiap bayangan.”
Julia berdiri di ambang pintu, masih waspada dengan senjatanya.
“Ini terlalu mudah. Setelah semua yang kita hadapi, kurasa kita
belum keluar dari bahaya.”
Edelstein mendekati meja batu dan dengan hati-hati membuka
gulungan itu. Huruf-huruf kuno yang terukir di permukaannya
berkilauan dalam cahaya obor. Namun, saat ia mulai membacanya,
raut wajahnya berubah. Ekspresi puasnya berubah menjadi kerutan
dalam.
“Apa yang salah?” tanya Adrian, mendekat.
Dr. Edelstein menunjuk pada beberapa baris teks di gulungan itu.
“Ini... bukan petunjuk yang kita harapkan. Ada sesuatu yang lebih
gelap di sini. Sebuah peringatan.”
Mira melangkah lebih dekat, alisnya terangkat. “Peringatan tentang
apa?”
Dengan suara pelan dan dalam, Edelstein mulai membaca teks kuno
itu. “Barang siapa yang mengganggu keseimbangan antara dunia, akan
diburu oleh Sang Pengamat Abadi. Mereka tak bisa dibunuh, tak bisa
dilawan. Mereka hanya bisa dihindari, atau seluruh dunia akan
runtuh.”
Sebuah keheningan berat melingkupi mereka. Julia menelan ludah,
menghela napas panjang. “Jadi, kita baru saja memulai sesuatu yang
lebih buruk?”
Adrian merasakan sesuatu yang lain, lebih dari sekadar kata-kata
di gulungan itu. Ada semacam rasa dingin yang tiba-tiba menjalari
tubuhnya, seperti ada sesuatu yang mendekat dari luar ruangan.
“Kita harus pergi,” bisik Adrian dengan mendadak. “Sekarang.”
Edelstein menoleh, terlihat bingung. “Tapi kita baru saja
menemukannya…”
Adrian tidak memberi kesempatan untuk membalas. “Percayalah. Ada
sesuatu yang salah. Kita tidak aman di sini.”
Julia yang selama ini bersikap skeptis tiba-tiba mendengar suara
gemuruh dari jauh, suara yang sama seperti langkah Penjaga
sebelumnya, namun kali ini lebih berat, lebih mengancam.
“Adrian benar. Kita harus segera keluar dari sini,” kata Julia
tegas.
Mereka semua bergerak cepat menuju pintu keluar ruangan itu, tapi
saat mereka mencapai ambang pintu, suara gemuruh semakin keras,
seolah-olah sesuatu yang lebih besar sedang mendekati mereka
dengan cepat.
Mira menatap ke lorong di depan, matanya menyipit. “Apa itu?”
Dari ujung lorong, bayangan hitam besar muncul. Sesosok makhluk
yang lebih besar dari Penjaga sebelumnya, dengan tubuh terbuat
dari batu gelap dan mata bersinar merah terang. Udara di
sekitarnya tampak bergetar oleh kehadirannya, dan setiap langkah
yang diambilnya membuat lantai bergetar hebat.
“Itu Sang Pengamat,” bisik Edelstein, wajahnya pucat. “Makhluk
yang tidak bisa dihentikan…”
“Kita harus lari!” teriak Adrian, menarik Julia dan Mira ke arah
jalan keluar lain yang baru mereka temukan.
Mereka berlari dengan kecepatan penuh melalui lorong yang sempit,
diikuti oleh getaran langkah Sang Pengamat yang terus mendekat.
Bayangan makhluk itu semakin besar, seolah mengejar mereka tanpa
ampun.
“Arah ini menuju ke mana?” teriak Julia, berusaha menahan panik.
“Aku tak tahu!” jawab Adrian. “Tapi kita harus terus bergerak!”
Mereka melewati beberapa tikungan tajam, mencoba menghindari Sang
Pengamat yang terus mendekat dengan kecepatan mengerikan. Suara
gemuruh langkahnya membuat dinding-dinding kuil bergetar hebat,
seolah-olah seluruh tempat itu akan runtuh kapan saja.
Akhirnya, mereka menemukan sebuah pintu batu besar yang tampaknya
merupakan jalan keluar. Tanpa berpikir panjang, Adrian dan Julia
berusaha membukanya, tapi pintu itu begitu berat. Mira dan
Edelstein segera membantu, dan setelah beberapa saat penuh
perjuangan, pintu itu perlahan terbuka.
Ketika mereka semua berhasil keluar, Adrian menoleh untuk melihat
Sang Pengamat yang semakin mendekat, namun saat makhluk itu hampir
mencapai pintu, cahaya terang muncul dari dinding kuil,
menghentikan langkahnya. Sang Pengamat berhenti di ambang pintu,
seolah ada kekuatan yang menahannya untuk melangkah lebih jauh.
Mereka terdiam, terengah-engah, dan tubuh mereka berkeringat
dingin. Sang Pengamat hanya berdiri di sana, matanya yang merah
menyala menatap mereka dengan penuh ancaman. Tapi untuk saat ini,
mereka aman.
“Kita berhasil keluar,” bisik Julia dengan napas terputus-putus.
“Tapi apa selanjutnya?”
Adrian menatap kembali ke kuil. Ia tahu mereka telah menemukan
jejak pertama, namun dengan risiko besar. Dan Sang Pengamat tidak
akan pernah berhenti sampai mereka menghentikan Ordo Bayangan
untuk selamanya.
Edelstein menatap mereka dengan serius. “Selanjutnya, kita harus
menemukan pintu kedua. Waktunya semakin sedikit, dan Ordo Bayangan
tidak akan menunggu lama untuk melakukan langkah berikutnya.”
Dengan tekad baru, mereka semua berangkat dari kuil kuno, membawa
serta peringatan gelap dan beban baru di pundak mereka. Mereka
tahu perjalanan ini masih panjang, dan bahaya yang lebih besar
menanti di depan. Namun, mereka tak punya pilihan selain terus
maju.
Perang melawan kegelapan baru saja dimulai, dan kali ini, mereka
bukan hanya melawan manusia, tapi juga kekuatan yang jauh lebih
tua dan lebih berbahaya.
Kaki mereka melangkah cepat di jalur pegunungan yang berbatu,
meninggalkan kuil kuno dan Sang Pengamat di belakang. Angin dingin
membawa keheningan, hanya terdengar suara napas terengah-engah dan
langkah kaki yang berat. Kabut yang menggantung di lereng gunung
semakin pekat, seolah alam sendiri menyembunyikan rahasia kelam di
sekitarnya.
Adrian berhenti sejenak, pandangannya terarah ke horizon.
Pikiran-pikiran berkecamuk di kepalanya—tentang jejak pertama yang
mereka temukan, peringatan yang dibawa oleh gulungan kuno, dan
Sang Pengamat yang seolah-olah bisa muncul kapan saja. Kegelapan
tampaknya terus mengejar mereka, tak memberi ruang untuk
beristirahat.
“Kita harus segera menetapkan tujuan berikutnya,” kata Adrian,
memecah kebisuan yang terasa mencekik. “Ke mana kita akan mencari
pintu kedua?”
Dr. Edelstein menatapnya, wajahnya terlihat lebih tua dan lelah
setelah insiden di kuil. “Aku butuh waktu untuk menganalisis isi
gulungan itu lebih dalam. Ada petunjuk yang samar, dan aku yakin
ada hubungan dengan reruntuhan di Lembah Bayangkara. Tapi sebelum
itu, kita harus memikirkan strategi—kita tak bisa lagi bergerak
tanpa persiapan.”
Julia memandang Dr. Edelstein dengan curiga. “Rasanya seperti kita
selalu terjebak dalam pengejaran. Bagaimana kau bisa yakin Lembah
Bayangkara adalah tujuan selanjutnya?”
Edelstein menarik napas panjang sebelum menjawab. “Selama ini,
Ordo Bayangan telah menyebar artefak kuno di berbagai tempat, dan
dari penelitianku, Lembah Bayangkara adalah salah satu lokasi yang
disakralkan. Itu tempat penting bagi Sang Pengamat Abadi—sebuah
tempat di mana keseimbangan dunia dipertahankan. Kita harus
memastikannya sebelum mereka menemukan cara mengaktifkan Jantung
Kegelapan.”
Mira yang selama ini diam tiba-tiba bersuara, suaranya tajam dan
langsung. “Dan jika kita salah? Jika itu bukan tempatnya? Kita
akan menghadapi musuh yang lebih kuat dan semakin terpojok.”
Adrian menatap Mira dengan tenang. “Kita tidak punya banyak
pilihan. Ordo Bayangan sudah bergerak, dan jika kita tidak
menemukan pintu kedua sebelum mereka, mungkin dunia ini akan
berubah selamanya.”
**
Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini menuju sebuah tempat
persembunyian sementara di kaki gunung, di mana Julia telah
menyiapkan peralatan dan peta-peta lama yang mungkin berguna.
Malam mulai jatuh ketika mereka tiba, dan suasana pegunungan
berubah menjadi semakin gelap dan dingin. Mereka berkumpul di
sekitar api kecil, mencoba menghangatkan diri sementara Dr.
Edelstein mulai memeriksa gulungan kuno yang telah mereka temukan.
“Simbol-simbol ini,” ujar Dr. Edelstein dengan suara pelan,
jarinya menunjuk pada deretan huruf yang samar, “merujuk pada
sesuatu yang disebut ‘Cermin Bayangan’. Ini bukan artefak fisik,
melainkan suatu portal. Tapi lokasinya masih kabur—banyak sekali
yang belum bisa kucerna.”
Adrian melipat tangannya, menatap api dengan mata yang dipenuhi
pertanyaan. “Cermin Bayangan... itu terdengar seperti sesuatu yang
bisa memanipulasi dimensi.”
Julia mengangguk, wajahnya tegang. “Jika benar, itu artinya Ordo
Bayangan mungkin berusaha menggabungkan dunia kita dengan dimensi
lain. Kita tak bisa membiarkan mereka berhasil.”
Suasana di sekitar mereka menjadi semakin berat. Ancaman dari
makhluk-makhluk kuno seperti Sang Pengamat, ditambah dengan ambisi
Ordo Bayangan, membuat setiap langkah yang mereka ambil terasa
semakin berbahaya.
Mira, yang duduk agak jauh dari kelompok, tiba-tiba mengangkat
suaranya. “Kita butuh sekutu. Kita tidak bisa melakukan ini
sendirian. Jika kita terus berlari, kita hanya akan kehabisan
waktu.”
Adrian menatapnya. “Kau punya ide?”
Mira tersenyum tipis. “Aku kenal seseorang—seseorang yang mungkin
bisa membantu. Dia punya sumber daya dan pengetahuan yang kita
butuhkan. Namun, ada risikonya.”
Julia menatap Mira dengan alis terangkat. “Siapa orang ini?”
Mira menghela napas sebelum menjawab. “Namanya Samuel Mirza. Dia
tahu banyak tentang peradaban kuno dan artefak. Dan dia juga
ayahku.”
Keheningan langsung menyelimuti mereka. Adrian menatap Mira dengan
ekspresi terkejut, sementara Julia menyipitkan matanya penuh
pertanyaan. Dr. Edelstein diam, memproses informasi tersebut.
“Kau... tidak pernah menyebutkan tentang ayahmu sebelumnya,” gumam
Adrian.
Mira mengangkat bahu, tampak sedikit canggung. “Kami punya sejarah
yang rumit. Dia meninggalkan kami bertahun-tahun yang lalu, tapi
jika ada yang bisa membantu kita, itu dia.”
Dr. Edelstein akhirnya berbicara, suaranya lebih serius dari
sebelumnya. “Jika Samuel Mirza adalah seperti yang kudengar, maka
kita mungkin benar-benar menemukan sekutu yang sangat kuat. Tapi
juga berbahaya.”
Adrian berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Kita harus mencoba.
Kita tidak punya banyak pilihan.”
Dengan itu, keputusan mereka pun dibuat. Perjalanan berikutnya
akan membawa mereka bertemu dengan Samuel Mirza, orang yang
mungkin memegang kunci untuk menghentikan Ordo Bayangan—atau
membawa mereka lebih dekat pada kehancuran.
Malam semakin larut, dan bayangan di sekitar mereka tampak semakin
gelap. Di dalam hati mereka, mereka tahu bahwa setiap langkah ke
depan akan semakin berbahaya, dan mereka hanya bisa berharap bahwa
mereka tidak terlambat.
Fajar baru mulai muncul ketika mereka meninggalkan persembunyian
sementara, dengan tujuan jelas—menemui Samuel Mirza. Kabut tipis
menggantung rendah di lembah, menyelimuti jalur yang mereka lewati
dengan aura misteri. Rasa tegang menyelimuti kelompok itu,
terutama setelah pengungkapan mengejutkan tentang Samuel Mirza.
Adrian berjalan di depan, pikirannya dipenuhi berbagai skenario
tentang pertemuan mereka yang akan datang. “Samuel Mirza...
Ayahmu,” gumamnya, masih berusaha mencerna fakta yang baru ia
ketahui. “Kenapa kau tak pernah menyebutkannya sebelumnya?”
Mira berjalan di sampingnya, wajahnya keras dan ekspresinya sulit
dibaca. “Karena hubunganku dengannya rumit. Dia meninggalkan kami
saat aku masih kecil, pergi tanpa penjelasan. Tapi sekarang aku
tahu, dia tidak sekadar pergi. Dia mengejar sesuatu yang lebih
besar.”
Adrian berhenti sejenak, menatapnya. “Kau percaya dia bisa
membantu kita?”
Mira menghela napas. “Aku harap begitu. Meski begitu, ada risiko.
Samuel tidak selalu berada di sisi yang benar. Dia ahli dalam
manipulasi, dan ada alasan kenapa dia menghilang selama
bertahun-tahun.”
Dr. Edelstein yang berjalan di belakang mereka menyela, suaranya
terdengar waspada. “Aku telah mendengar tentang Samuel Mirza—nama
yang kerap muncul dalam penelitian tentang artefak kuno. Dia
brilian, tapi reputasinya... tidak selalu terpuji. Kita harus
berhati-hati.”
Julia, yang selalu waspada, menyipitkan matanya. “Jika dia tahu
sebanyak yang kita kira, kenapa dia tidak menghentikan Ordo
Bayangan lebih awal?”
Mira menggigit bibirnya sebelum menjawab. “Mungkin karena dia
punya rencana sendiri. Tapi untuk saat ini, dia satu-satunya yang
kita punya.”
**
Setelah beberapa jam berjalan melalui hutan lebat, mereka akhirnya
tiba di sebuah rumah besar yang tersembunyi di balik bukit.
Bangunan itu tampak tua namun megah, dengan dinding batu yang
mulai ditumbuhi lumut dan jendela-jendela besar yang tampak
seperti mata waspada yang mengawasi hutan di sekitarnya.
“Kita sudah sampai,” bisik Mira, matanya menatap rumah itu dengan
campuran emosi. “Dia ada di dalam.”
Julia menatap rumah itu dengan curiga. “Ini terlihat terlalu...
tenang. Seperti jebakan.”
Dr. Edelstein mengangguk, setuju. “Samuel Mirza adalah pria yang
cerdik. Kita harus masuk dengan hati-hati.”
Adrian mengangkat dagunya, mengambil napas dalam-dalam sebelum
berbicara. “Mari kita masuk. Tapi tetap waspada.”
Mereka berjalan perlahan menuju pintu besar di depan, dan sebelum
mereka sempat mengetuk, pintu itu terbuka dengan sendirinya,
memperlihatkan seorang pria tua dengan postur tegap. Rambut hitam
dengan semburat uban, mata biru yang tajam, dan senyum tipis di
wajahnya—Samuel Mirza berdiri di ambang pintu.
“Selamat datang,” katanya dengan suara dalam yang berwibawa.
“Sudah lama aku menunggu kalian.”
Mira menatap ayahnya dengan tatapan tajam. “Menunggu kami? Kau
tahu kami akan datang?”
Samuel tersenyum, lalu melangkah ke samping, memberi mereka jalan
masuk. “Tentu saja. Kalian membuat terlalu banyak kebisingan di
dunia ini. Silakan masuk, kita punya banyak hal yang perlu
dibicarakan.”
**
Di dalam rumah, suasana terasa lebih hangat. Api menyala di
perapian besar, dan ruangan dipenuhi dengan buku-buku tua dan
artefak kuno dari seluruh dunia. Samuel membawa mereka ke ruang
tamu yang luas, di mana meja penuh dengan peta dan catatan
berantakan.
“Aku tahu kalian mencari jawaban tentang Ordo Bayangan,” kata
Samuel setelah mereka semua duduk. “Tapi kalian belum siap untuk
mengetahui semuanya.”
Dr. Edelstein memandang Samuel dengan tajam. “Kami sudah
mengetahui lebih banyak dari yang mungkin kau kira. Dan jika kau
tahu tentang Ordo Bayangan, kenapa kau tidak melakukan sesuatu
untuk menghentikan mereka?”
Samuel tertawa pelan, suara tawanya menggema di ruangan itu. “Oh,
aku telah melakukan sesuatu, Edelstein. Hanya saja, tidak seperti
yang kau pikirkan.” Ia mencondongkan tubuh ke depan, menatap
mereka dengan serius. “Ordo Bayangan bukan sekadar kelompok yang
ingin menguasai dunia. Mereka adalah bagian dari keseimbangan itu
sendiri.”
Julia menyela, ekspresinya penuh skeptis. “Apa maksudmu?”
Samuel menjawab dengan tenang. “Ordo Bayangan adalah pelindung
rahasia besar dunia ini. Mereka menjaga sesuatu yang tak boleh
disentuh, dan jika kalian menghancurkan mereka, keseimbangan dunia
bisa runtuh. Tapi di sisi lain, mereka juga berbahaya. Karena itu,
kita tidak bisa melawan mereka secara langsung.”
Mira menghela napas berat. “Jadi, kau akan duduk dan membiarkan
mereka menghancurkan dunia?”
Samuel menatap putrinya dengan tajam. “Tentu saja tidak. Itulah
kenapa aku telah mempersiapkan ini selama bertahun-tahun. Tapi
untuk melawan mereka, kalian harus siap untuk menghadapi kenyataan
bahwa kita berurusan dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari
yang kalian kira.”
Adrian merasa kebingungan. “Jadi apa yang harus kita lakukan?
Menunggu sampai mereka membuka pintu kegelapan itu?”
Samuel berdiri, berjalan menuju meja besar yang dipenuhi peta.
“Tidak. Kita harus menemukan Cermin Bayangan sebelum mereka
melakukannya. Tapi untuk itu, kalian harus mempercayai aku. Jika
tidak, kita semua mungkin akan jatuh dalam kegelapan.”
Keheningan melingkupi ruangan itu. Mereka semua menyadari bahwa
mereka berada di persimpangan berbahaya. Samuel Mirza bisa menjadi
kunci untuk menghentikan Ordo Bayangan, tapi dengan harga yang
belum mereka ketahui.
Adrian akhirnya angkat bicara. “Baiklah, kami akan mempercayaimu
untuk saat ini. Tapi jika kau mencoba memanipulasi kami...”
Samuel tersenyum tipis. “Aku tahu betul siapa yang sedang
kuhadapi. Aku tidak akan mengecewakan kalian, Adrian.”
Dengan itu, mereka semua tahu bahwa permainan baru saja dimulai.
Samuel Mirza mungkin adalah sekutu mereka, tapi di balik
senyumnya, tersembunyi lebih banyak rahasia yang harus
diungkapkan.
Malam mulai jatuh ketika percakapan mereka dengan Samuel Mirza
usai. Suasana di dalam rumah itu mulai terasa semakin mencekam,
seiring api di perapian redup perlahan. Sementara yang lain
beristirahat di ruangan terpisah, Adrian duduk di samping jendela
besar, menatap ke luar, memandangi bayangan-bayangan yang tertiup
angin malam. Pikirannya penuh dengan pertanyaan—tentang Samuel,
tentang Ordo Bayangan, dan tentang rencana besar yang perlahan
mulai terbuka di hadapannya.
Di sisi lain ruangan, Mira berdiri di sudut, menatap ayahnya yang
sedang berbicara dengan Dr. Edelstein di dekat meja penuh peta dan
catatan. Matanya tajam, namun ada juga keraguan yang sulit
disembunyikan.
“Adrian,” suara Julia yang lembut membuyarkan pikirannya. “Kau
masih memikirkan Samuel?”
Adrian menoleh ke arah Julia, yang duduk di sampingnya dengan
ekspresi yang sulit ditebak. “Ya. Ada sesuatu yang tak bisa
kupahami. Samuel tahu terlalu banyak, tapi tidak memberitahu kita
semua. Dia punya rencana sendiri, dan aku khawatir kita hanya pion
dalam permainannya.”
Julia mengangguk pelan, wajahnya tegang. “Aku juga merasakannya.
Tapi kita tak punya pilihan lain. Jika dia benar-benar tahu cara
menghentikan Ordo Bayangan, maka kita harus bekerja sama
dengannya—setidaknya untuk saat ini.”
Adrian menghela napas berat, merasa terbebani oleh keputusan yang
harus diambil. “Aku hanya berharap kita bisa mempercayainya.”
**
Sementara itu, di meja utama, Samuel dan Dr. Edelstein terus
berdiskusi tentang Cermin Bayangan. Samuel membuka gulungan kuno
yang dibawa Adrian dan timnya dari kuil, memperlihatkan
simbol-simbol yang tampak semakin rumit dan penuh makna.
“Simbol-simbol ini,” ujar Dr. Edelstein, jari-jarinya menyusuri
teks kuno, “mereka menggambarkan suatu peristiwa besar. Sebuah
momen di mana keseimbangan antara terang dan gelap akan terganggu.
Apakah ini yang disebut sebagai Jantung Kegelapan?”
Samuel mengangguk, matanya menyipit saat melihat teks di
hadapannya. “Benar. Jantung Kegelapan adalah pusat dari semua ini.
Jika Ordo Bayangan berhasil mengaktifkannya, mereka tidak hanya
akan membuka pintu antara dunia ini dan dimensi kegelapan, tetapi
mereka juga akan menciptakan kekuatan yang tak terkendali.
Kekuatan itu akan menghancurkan segala sesuatu.”
Dr. Edelstein terdiam sejenak, menatap Samuel dengan tatapan
tajam. “Tapi kau tahu lebih dari itu, bukan? Cermin Bayangan bukan
sekadar portal. Ada lebih banyak yang kau sembunyikan.”
Samuel tersenyum tipis. “Kau benar. Cermin Bayangan adalah kunci
untuk menyeberangi dimensi. Tapi yang belum kalian sadari adalah
bahwa cermin itu juga bisa digunakan untuk menghentikan Ordo
Bayangan. Namun, ada satu masalah besar: cermin itu tidak berada
di dunia ini.”
Dr. Edelstein menatap Samuel dengan kebingungan. “Maksudmu?”
Samuel berdiri, berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke
hutan gelap di luar. “Cermin itu berada di dunia lain, dunia yang
hanya bisa diakses melalui ritual kuno. Dan untuk menemukannya,
kita harus menyusuri jalur yang telah dilupakan oleh waktu.”
**
Sementara diskusi mereka berlangsung, Mira mendekati Adrian dan
Julia. Ada keraguan yang tergambar jelas di wajahnya, tapi juga
tekad yang tumbuh semakin kuat.
“Kalian benar,” ujar Mira pelan. “Aku juga meragukan Samuel. Tapi
kita harus melangkah hati-hati. Jika kita terlalu menunjukkan
ketidakpercayaan kita, dia mungkin akan menutup diri.”
Adrian menatap Mira dengan serius. “Kau pikir dia akan
mengkhianati kita?”
Mira menggeleng, meski keraguan masih ada di matanya. “Aku tidak
tahu. Tapi ada satu hal yang jelas—Samuel tidak pernah melakukan
sesuatu tanpa alasan. Kita harus siap menghadapi segala
kemungkinan.”
Julia menyela dengan suara tenang, tapi tajam. “Kalau begitu, kita
akan mengawasi setiap langkahnya. Tapi saat ini, dia adalah
satu-satunya yang tahu jalan ke depan.”
Mira mengangguk, menatap kedua temannya dengan rasa lega yang
samar. “Kita harus bersiap. Besok, perjalanan kita akan membawa
kita ke tempat yang belum pernah kita bayangkan.”
**
Keesokan paginya, fajar kembali muncul dengan lambat, menyinari
rumah tua di hutan itu dengan sinar keemasan yang menembus kabut.
Samuel sudah bangun lebih awal, mempersiapkan peralatan dan peta
yang akan mereka bawa. Dr. Edelstein, Julia, Adrian, dan Mira
berkumpul di ruang utama, menyiapkan diri untuk perjalanan yang
akan menentukan nasib dunia mereka.
“Kita harus menuju reruntuhan di Lembah Bayangkara,” kata Samuel
dengan tegas. “Di sana, ritual kuno akan dimulai. Dan hanya dengan
mengikuti jejak itu, kita bisa menemukan Cermin Bayangan.”
Adrian menatap peta di meja, menyadari bahwa perjalanan ini akan
lebih berbahaya dari yang mereka perkirakan. “Apa yang kita hadapi
di sana?”
Samuel menatapnya dalam-dalam. “Kegelapan. Kegelapan yang tak
terbayangkan. Tapi jika kita berhasil, kita bisa menyelamatkan
dunia ini. Jika gagal... kita semua akan hancur.”
Dengan kata-kata itu, mereka pun bersiap untuk perjalanan yang
akan membawa mereka lebih dalam ke dalam misteri Ordo Bayangan,
dan semakin dekat pada kebenaran yang tersembunyi di balik cermin.
Mereka melangkah keluar dari rumah Samuel, memasuki kabut pagi
yang tebal dan dingin, dengan hati yang dipenuhi rasa waspada dan
tekad. Perjalanan berikutnya akan menentukan segalanya—dan tak ada
yang tahu apa yang menunggu mereka di ujung jalan.
Kabut pagi menebal, menciptakan suasana yang hampir seperti mimpi
ketika kelompok itu meninggalkan rumah Samuel Mirza. Langit di
atas mereka samar-samar dipenuhi oleh awan kelabu, menambah kesan
suram pada perjalanan mereka menuju Lembah Bayangkara—tempat yang
disebut-sebut sebagai lokasi kunci ritual kuno yang akan membuka
jalan menuju Cermin Bayangan.
Samuel berjalan di depan, memimpin mereka dengan langkah pasti. Di
belakangnya, Adrian, Julia, Mira, dan Dr. Edelstein mengikuti
dengan hati-hati. Pikiran mereka dibebani oleh informasi baru yang
mereka peroleh—tentang Ordo Bayangan, tentang Cermin Bayangan, dan
tentang ancaman yang akan menghancurkan keseimbangan dunia jika
mereka gagal.
Saat mereka berjalan menembus hutan yang semakin gelap, Julia
mendekati Adrian. “Kau siap menghadapi ini?” tanyanya dengan suara
rendah. Matanya, yang biasanya dipenuhi keberanian, kini
memancarkan sedikit kekhawatiran.
Adrian menatapnya sebentar sebelum mengangguk. “Aku tidak tahu apa
yang menunggu kita di sana. Tapi kita tidak punya pilihan. Dunia
ini tergantung pada kita sekarang.” Ada getaran dalam suaranya,
tetapi juga keteguhan yang tak terbantahkan.
Dr. Edelstein yang berjalan di belakang mereka berdua,
mendengarkan percakapan singkat itu. “Samuel mungkin menyimpan
banyak rahasia, tapi intuisiku mengatakan dia tidak akan
membiarkan kita jatuh tanpa alasan,” katanya pelan. “Kita berada
di titik di mana kepercayaan, meskipun rapuh, adalah satu-satunya
yang kita miliki.”
Mira, yang berjalan di samping ayahnya, tetap diam. Namun
pikirannya berputar—berusaha memadukan berbagai potongan informasi
tentang Samuel, tentang masa lalunya, dan tentang misi ini. Dia
tidak tahu apakah dia siap menghadapi kenyataan yang akan mereka
temui di depan, tetapi dia tahu satu hal: apa pun yang terjadi,
dia harus menemukan kebenaran tentang Samuel.
**
Setelah beberapa jam perjalanan melelahkan, mereka akhirnya tiba
di pinggiran Lembah Bayangkara. Lembah itu begitu luas dan dalam,
dengan dinding-dinding batu yang curam dan dipenuhi dengan tanaman
liar yang tumbuh tidak beraturan. Kabut tipis melayang di atas
permukaan tanah, menambah aura mistis dan tak terjamah.
Samuel berhenti di tepi lembah, menatap ke arah reruntuhan kuno
yang tampak di kejauhan. “Di sana,” katanya sambil menunjuk. “Itu
adalah pintu masuk menuju kuil bawah tanah. Di dalamnya, kita akan
menemukan jalan ke dunia lain.”
Adrian menatap reruntuhan itu dengan penuh rasa ingin tahu, meski
ada ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. “Apa yang akan kita
temui di sana?”
Samuel menatap Adrian dengan tajam. “Mereka yang mencoba
melindungi Cermin Bayangan. Para penjaga yang telah ada sejak
zaman kuno. Mereka tidak akan menyambut kita dengan tangan
terbuka.”
Julia menyipitkan matanya. “Penjaga?”
Samuel mengangguk. “Mereka adalah makhluk yang bukan manusia,
terikat pada dunia lain untuk melindungi rahasia besar. Mereka
tidak akan membiarkan siapa pun yang tidak layak mendekati Cermin
Bayangan.”
Dr. Edelstein tampak tertarik. “Makhluk-makhluk dari dunia lain…
Apakah mereka juga bagian dari keseimbangan yang kau bicarakan?”
Samuel tidak menjawab langsung. “Mereka adalah bagian dari misteri
ini. Kita tidak bisa melawan mereka secara langsung. Tapi ada
jalan yang bisa kita tempuh, jika kita cermat.”
**
Saat kelompok itu mulai mendekati reruntuhan, atmosfer semakin
berat. Setiap langkah terasa lebih lambat, seolah-olah ada
kekuatan yang menahan mereka untuk melangkah lebih jauh. Tanah di
bawah kaki mereka terasa basah, seolah-olah menyimpan rahasia yang
telah lama terkubur.
“Aku bisa merasakan sesuatu,” bisik Mira pelan. “Kekuatan gelap di
tempat ini... ini bukan tempat biasa.”
Adrian mengangguk setuju. “Seperti ada mata yang mengawasi kita.”
Julia, yang biasanya tidak percaya pada hal-hal mistis, tidak bisa
mengabaikan perasaan aneh itu. “Samuel, apa kita benar-benar bisa
melewati ini?”
Samuel berhenti, menatap mereka dengan ekspresi serius. “Kalian
harus tetap fokus. Jika kalian membiarkan rasa takut menguasai,
kalian tidak akan pernah berhasil mencapai kuil. Ini adalah
ujian.”
Mereka terus berjalan, menembus reruntuhan yang semakin besar dan
tampak semakin menyeramkan. Dinding-dinding batu di sekeliling
mereka mulai dipenuhi dengan ukiran kuno yang menggambarkan
pertempuran antara cahaya dan kegelapan—simbol yang sama seperti
yang mereka temukan dalam gulungan kuno.
Di hadapan mereka, sebuah pintu batu raksasa berdiri kokoh. Samuel
melangkah maju, meletakkan tangannya di permukaan batu yang
dingin. “Ini adalah pintu menuju kuil. Di sini, kita akan
menemukan jalan menuju Cermin Bayangan. Tapi hati-hati—begitu
pintu ini terbuka, tidak ada jalan kembali.”
Dengan suara berat, pintu itu mulai bergerak, membuka perlahan
dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Di baliknya,
kegelapan yang dalam menyambut mereka, seolah mengundang mereka
untuk melangkah masuk ke dalam misteri yang lebih besar dari apa
pun yang pernah mereka bayangkan.
Mira, Adrian, Julia, dan Dr. Edelstein saling bertukar pandang.
Ada ketakutan, tetapi juga rasa ingin tahu yang kuat.
“Kita akan masuk,” ujar Adrian dengan suara tegas, meski hatinya
berdegup kencang. “Ini satu-satunya cara.”
Mereka melangkah masuk ke dalam kuil, di mana kegelapan dan
rahasia masa lalu menanti mereka. Jalan di depan mereka tampak tak
terbatas, tapi mereka tahu—ini adalah langkah pertama menuju
kebenaran tentang Cermin Bayangan, dan juga nasib dunia.
Pintu batu raksasa tertutup di belakang mereka dengan suara berat,
menutup akses terakhir ke dunia luar. Seketika, suasana di dalam
kuil berubah drastis—kegelapan tebal menyelimuti setiap sudut,
menyisakan hanya sedikit cahaya yang berasal dari lentera yang
dibawa oleh Samuel. Langkah kaki mereka bergema samar di lorong
panjang dan lembap, menambah kesan bahwa mereka telah memasuki
dunia yang sepenuhnya terputus dari realitas biasa.
Dr. Edelstein mengamati dinding-dinding batu di sekeliling mereka
yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran kuno. Simbol-simbol yang serupa
dengan yang ada pada gulungan kuno terus berulang, menggambarkan
pertempuran besar antara kekuatan terang dan gelap. Di balik
setiap gambar, ada cerita—cerita yang pernah diucapkan oleh bibir
para pendeta kuno, tapi kini hilang dalam bayang-bayang waktu.
"Kuil ini... rasanya seperti penjara bagi kegelapan itu sendiri,"
gumam Dr. Edelstein, suaranya dipenuhi rasa kagum sekaligus
kekhawatiran. "Setiap ukiran di sini adalah peringatan tentang
kekuatan yang kita hadapi."
Mira mendekat, menyentuh permukaan dinding yang dingin. "Tapi
pertanyaannya adalah, apakah kita mampu menghadapi kekuatan itu,
atau justru akan terjebak di dalamnya?"
Samuel berjalan di depan mereka, tanpa menoleh. "Kalian akan tahu
jawabannya di ujung perjalanan ini. Cermin Bayangan menunggu di
sana, tapi ujian kita belum dimulai."
Julia menggertakkan giginya. “Apa yang sebenarnya kita cari di
sini, Samuel? Kau bicara tentang kegelapan dan penjaga, tapi kau
tidak pernah menjelaskan dengan jelas. Apa kau benar-benar tahu
apa yang kita hadapi?”
Samuel berhenti tiba-tiba, memutar tubuhnya untuk menatap Julia
dengan dingin. “Aku tahu lebih dari yang kalian bayangkan. Dan
jika kalian ingin selamat dari tempat ini, lebih baik kalian
mengikuti perintahku.”
Adrian, yang berdiri di samping Julia, menatap Samuel dengan
tatapan keras. "Kami tidak di sini untuk menjadi pion dalam
permainanmu, Samuel. Kami ada di sini untuk menyelamatkan dunia
ini. Jika kau tahu sesuatu yang penting, kau harus
memberitahukannya kepada kami sekarang."
Keheningan menyelimuti sejenak, hanya terdengar gemuruh samar dari
lorong-lorong gelap yang entah berasal dari mana. Mata Samuel
bersinar tajam dalam kegelapan. "Baiklah, jika kalian ingin tahu
kebenarannya... Cermin Bayangan bukan hanya portal ke dunia lain.
Itu juga kunci untuk menyeimbangkan kekuatan antara dimensi ini
dan dimensi kegelapan. Namun, untuk menggunakannya, satu
pengorbanan harus dilakukan."
Mira mengerutkan kening. "Pengorbanan? Pengorbanan apa?"
Samuel tidak menjawab. Dia berbalik dan melanjutkan langkahnya,
meninggalkan mereka dengan lebih banyak pertanyaan daripada
jawaban.
**
Mereka terus berjalan menyusuri lorong, melewati ruangan-ruangan
kecil yang tampak seperti ruang persembahan kuno. Di setiap sudut,
patung-patung penjaga dengan wajah kosong berdiri kokoh, seolah
mengamati mereka dengan tatapan hampa. Suasana semakin mencekam
ketika mereka mendekati pusat kuil.
Tiba-tiba, Samuel berhenti lagi, kali ini di depan sebuah pintu
besar dengan simbol yang jauh lebih rumit dari yang lain.
Ukiran-ukiran di pintu itu menggambarkan makhluk-makhluk raksasa
dengan sayap gelap, berdiri di antara dunia manusia dan dimensi
kegelapan.
"Ini dia," Samuel berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam
kegelapan. "Di balik pintu ini, kita akan menemukan Cermin
Bayangan. Tapi bersiaplah, para penjaga akan bangun ketika kita
melangkah masuk."
Adrian menegangkan otot-ototnya, memegang erat senjata kecil yang
dia bawa. "Bagaimana kita bisa melawan mereka?"
Samuel menggeleng pelan. "Kita tidak bisa melawan mereka secara
langsung. Mereka tidak dapat dihancurkan oleh senjata biasa. Kita
hanya bisa menghindari mereka... jika beruntung."
Mira menatap pintu itu dengan ragu-ragu. "Dan jika kita tidak
beruntung?"
Samuel menatapnya sebentar sebelum membuka pintu dengan suara
berat. "Kalau kita tidak beruntung, kita tidak akan pernah keluar
dari tempat ini."
**
Begitu pintu terbuka, mereka disambut oleh ruang besar yang
dipenuhi oleh bayangan bergerak, seperti kabut tebal yang tak
berbentuk namun hidup. Di tengah ruangan, di atas sebuah altar
batu hitam, berdiri sebuah cermin raksasa dengan bingkai emas yang
dihiasi simbol-simbol kuno. Namun, tidak ada refleksi di permukaan
cermin itu—hanya kegelapan yang dalam, seolah-olah cermin itu
sendiri adalah lubang tanpa dasar.
Di sekeliling cermin, bayangan-bayangan mulai memadat, mengambil
bentuk makhluk-makhluk gelap yang menyerupai manusia namun jauh
lebih tinggi, dengan wajah yang tak terlihat jelas. Para penjaga
telah bangun.
“Sekarang waktunya,” bisik Samuel. “Kalian harus bergerak cepat.
Cermin itu adalah satu-satunya harapan kita.”
Adrian, Julia, Mira, dan Dr. Edelstein bergegas menuju altar, tapi
para penjaga mulai bergerak, melayang dengan anggun namun
mematikan ke arah mereka. Mereka harus berpikir cepat atau mereka
akan terkepung.
Dengan jantung yang berdegup kencang, Adrian mendekati cermin itu,
merasa kekuatan misterius yang keluar dari permukaannya. "Apa yang
harus kita lakukan, Samuel?"
Samuel, yang tetap berdiri di belakang, suaranya bergema di
seluruh ruangan. "Seseorang harus masuk ke dalamnya."
Adrian menoleh, terkejut. "Masuk ke dalam cermin?"
Samuel mengangguk, matanya penuh tekad. "Hanya seseorang yang
cukup kuat untuk menanggung kegelapan yang bisa menyeimbangkan
dunia ini. Jika tidak, kita semua akan hancur."
Mira memandang Adrian dengan cemas. "Kau tidak bisa melakukan ini
sendirian."
Julia meraih lengannya, suaranya rendah namun penuh kepastian.
"Apa pun yang terjadi, kita akan melakukannya bersama-sama."
Dr. Edelstein mendekati cermin, memperhatikan simbol-simbol yang
terukir di sekelilingnya. "Ini bukan hanya tentang fisik yang
kuat. Ini tentang jiwa. Siapa pun yang masuk ke dalam cermin harus
siap untuk kehilangan sebagian dari dirinya."
Samuel menyela dengan tegas. "Waktu kita hampir habis. Kalian
harus memutuskan sekarang."
Di saat-saat terakhir itu, ketika bayangan penjaga semakin
mendekat, Adrian, Julia, Mira, dan Dr. Edelstein harus menghadapi
keputusan yang akan mengubah nasib mereka selamanya—dan mungkin,
juga nasib dunia.
Dengan satu tarikan napas panjang, Adrian melangkah maju. "Aku
akan masuk."
Tapi sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, suara Mira
menghentikannya. "Tidak, kita akan masuk bersama."
Mereka saling menatap, dan dalam keheningan yang tegang, mereka
tahu bahwa mereka akan menghadapi apa pun yang menunggu di balik
Cermin Bayangan—bersama.
Kabut kegelapan yang melingkupi ruang besar tempat Cermin Bayangan
berdiri semakin tebal. Bayangan penjaga bergerak perlahan,
seolah-olah mempermainkan waktu yang tersisa bagi mereka yang kini
berdiri di hadapan misteri kuno. Suara napas berat terdengar di
antara mereka, tetapi tidak ada yang berani mengungkapkan
keraguan.
Adrian melangkah maju menuju cermin, tetapi kali ini Mira
menempatkan tangannya di pundaknya dengan lembut. "Kita telah
sampai sejauh ini bersama," ucapnya dengan tenang. "Jika ada
sesuatu yang harus dihadapi, kita akan melakukannya sebagai satu
tim."
Samuel memandang mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan,
tetapi tak ada waktu untuk berdebat lebih jauh. Para penjaga
semakin mendekat, tubuh mereka seolah menyatu dengan bayangan di
sekeliling, namun kehadiran mereka semakin nyata. Mata mereka yang
gelap bersinar samar, memperingatkan mereka akan bahaya yang akan
segera datang.
Julia menggenggam tangannya dengan erat, melirik Adrian, Mira, dan
Dr. Edelstein. "Kita takkan bisa kabur dari ini. Jika kita tidak
bergerak sekarang, kita semua akan terperangkap di sini
selamanya."
Dr. Edelstein melangkah ke arah cermin, memperhatikan permukaannya
yang hitam pekat, tidak memantulkan apapun selain kegelapan tanpa
ujung. "Ini bukan sekadar cermin... ini adalah portal, lubang
menuju sesuatu yang tak terjangkau oleh pikiran kita. Tapi juga,
ini adalah ujian bagi jiwa kita."
Samuel berdiri lebih dekat, suaranya berbisik tapi penuh makna.
"Seseorang harus mengorbankan dirinya untuk memasuki Cermin
Bayangan. Tidak ada jalan lain. Hanya mereka yang berani
menghadapi bayangan diri mereka sendiri yang dapat membuka jalan
menuju keseimbangan."
Adrian menoleh dengan pandangan bingung. "Apa maksudmu?
Mengorbankan diri?"
Samuel mengangguk perlahan, tatapannya dingin. "Bayangan tidak
pernah menipu. Cermin ini tidak hanya menunjukkan apa yang ada di
luar, tetapi apa yang tersembunyi di dalam diri kita. Ketika kau
melangkah masuk, kau harus siap melihat bayangan terkelammu dan
menghadapi apa yang tidak ingin kau lihat."
Mira meneguk ludah, merasa ketegangan semakin menumpuk. "Jika kita
semua masuk... apa yang akan terjadi?"
Samuel memandangnya, lalu kembali menatap cermin itu. "Satu jiwa
akan terserap, tetapi jika kalian cukup kuat—jika ikatan kalian
cukup dalam—mungkin kalian bisa kembali. Namun ingat, tidak ada
yang pernah benar-benar kembali dari Cermin Bayangan tanpa
kehilangan sesuatu."
**
Adrian menatap cermin itu, kegelapan di dalamnya seperti
memanggil, mengundang untuk dihadapi. Ia merasakan gemuruh di
dadanya, seolah-olah sesuatu dalam dirinya sedang bersiap untuk
menghadapi sesuatu yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
Mira berdiri di sampingnya, lalu Julia, dan Dr. Edelstein,
semuanya berdiri menghadap cermin dengan napas tertahan.
"Aku siap," bisik Adrian, meskipun ia tidak yakin apa yang
sebenarnya menantinya.
Mira meraih tangannya, memberikan kekuatan terakhir sebelum mereka
melangkah bersama. "Kita lakukan ini bersama-sama."
Dengan satu tarikan napas terakhir, mereka bertiga—Adrian, Mira,
dan Julia—melangkah ke arah cermin. Dr. Edelstein tetap di
belakang, matanya mengamati setiap detik yang berlalu. Begitu
Adrian meletakkan tangannya di permukaan cermin, sensasi dingin
segera merambat ke tubuhnya, membuatnya seolah terhisap ke dalam
kekosongan.
Saat mereka melangkah lebih dalam, kegelapan mulai menyelimuti
seluruh indra mereka. Suara desah angin, getaran tanah, dan
bayangan yang berlarian kini hanya tersisa sebagai gema jauh.
Mereka merasakan diri mereka terpecah dari dunia nyata—dan saat
itulah mereka melihatnya.
Bayangan diri mereka sendiri.
Adrian melihat sosoknya di hadapannya, lebih pucat, lebih suram,
dan lebih terperosok dalam keputusasaan. Mata bayangannya kosong,
menatap balik dengan tatapan yang menghantui. Di sisi lain, Mira
melihat bayangannya sendiri, dengan rambut lebih kusut dan mata
yang tak lagi bersinar cerah, seolah-olah seluruh semangatnya
terkuras. Julia, yang biasanya penuh percaya diri, kini berhadapan
dengan sosok dirinya yang penuh keraguan dan ketakutan.
"Tidak... ini bukan aku," bisik Julia, suaranya terdengar pecah.
Tapi bayangannya tidak menghilang, malah semakin mendekat.
"Saat ini kalian dihadapkan pada diri kalian sendiri," suara
Samuel terdengar samar, entah dari mana datangnya. "Jika kalian
tidak bisa menerima bayangan kalian, cermin ini akan memakan jiwa
kalian."
Adrian merasakan ketakutan menguasainya. Bayangannya semakin
dekat, wajah tanpa ekspresi itu seakan mengusik seluruh
kelemahannya. Ia ingin berpaling, melarikan diri, tapi kakinya
terpaku di tempat.
Namun di tengah kegelapan itu, Mira tiba-tiba melangkah maju. "Aku
mungkin punya kekurangan," katanya dengan suara lantang. "Tapi aku
tidak akan membiarkan bayangan ini mendikte siapa diriku."
Ia menatap bayangannya dengan tekad, mengakui segala kelemahan dan
rasa takut yang ia rasakan selama ini. Dan saat ia melakukan itu,
bayangannya mulai memudar, hingga akhirnya menghilang sepenuhnya.
Julia, yang melihat keberanian Mira, mulai melakukan hal yang
sama. Dengan napas berat, ia menghadapi bayangannya sendiri. "Aku
tahu aku tidak sempurna. Tapi itu tidak membuatku lemah."
Adrian menatap dua temannya, merasa ada kekuatan baru yang bangkit
di dalam dirinya. Ia melihat bayangannya sekali lagi—wajah yang
tampak penuh keraguan dan rasa takut—dan ia memutuskan untuk
menerimanya. "Aku mungkin takut... tapi aku tidak akan membiarkan
rasa takut mengontrolku."
Dan seperti itu, bayangannya memudar.
**
Ketika bayangan mereka hilang, kegelapan di sekeliling mulai
memudar, digantikan oleh cahaya samar yang berasal dari cermin di
depan mereka. Mereka kembali berdiri di depan altar, napas mereka
berat tapi jiwa mereka terasa lebih ringan. Dr. Edelstein menatap
mereka dengan tatapan penuh kekaguman.
"Kalian telah melaluinya," katanya perlahan. "Kalian berhasil
menghadapi bayangan kalian."
Samuel, yang berdiri agak jauh, tersenyum samar. "Tapi ini baru
permulaan. Cermin Bayangan telah membuka jalannya, tapi perjalanan
kalian belum berakhir."
Di balik cermin, cahaya mulai berputar, menciptakan portal yang
perlahan terbuka.
"Siap atau tidak," kata Samuel, "sekarang kalian harus melangkah
lebih jauh ke dalam dunia bayangan."
Dengan satu langkah terakhir, mereka memasuki portal itu, menuju
misteri yang lebih dalam dan kegelapan yang lebih besar.
Saat mereka melangkah melalui portal yang muncul di Cermin
Bayangan, dunia di sekitar mereka berubah drastis. Udara terasa
lebih tebal, berat, dan penuh dengan aura dingin yang menyentuh
jiwa mereka. Tempat yang mereka pijak bukan lagi kuil kuno yang
mereka kenal, melainkan sebuah dimensi baru, di mana batas antara
kenyataan dan bayangan terasa kabur.
Mereka berdiri di atas tanah hitam yang tampak tak berbatas. Di
kejauhan, langit berwarna abu-abu dengan garis-garis merah samar
yang memancarkan cahaya tak wajar. Tidak ada matahari, tidak ada
bintang, hanya langit yang suram seolah-olah dunia ini berada di
antara waktu dan ruang.
“Kita di mana?” tanya Adrian, memecah keheningan, matanya
menelusuri pemandangan di sekitarnya.
“Ini bukan lagi dunia kita,” jawab Dr. Edelstein, suaranya rendah.
“Ini adalah dimensi di antara dua dunia. Di sini, tidak ada
kehidupan seperti yang kita kenal.”
Samuel, yang berdiri di belakang mereka, melangkah maju dengan
percaya diri. “Kalian sudah menyeberangi batas pertama. Sekarang,
tugas kita adalah menemukan inti dari kekuatan ini dan
menyeimbangkan kembali kekuatan kegelapan yang mulai merembes ke
dunia kita.”
Julia menyentuh pedang kecil yang ia bawa di pinggang, merasa
tidak nyaman dengan suasana di sekeliling. “Dan bagaimana caranya
kita melakukan itu? Tempat ini terasa seperti jebakan yang siap
memakan kita kapan saja.”
Mira mengerutkan kening, pandangannya terpaku pada horizon yang
jauh. “Kita tidak bisa tetap di sini selamanya. Ada sesuatu yang
memanggil kita ke dalam. Kekuatan yang lebih besar sedang
menunggu.”
Samuel mengangguk, “Kita harus menuju pusat dimensi ini. Di sana,
kita akan menemukan jantung dari kegelapan. Hanya dengan
menghadapi sumber kekuatan ini, kita bisa mengembalikan
keseimbangan dunia.”
Adrian merasakan ketegangan yang semakin besar di dadanya, tapi
tekad dalam dirinya semakin menguat. “Kalau begitu, kita tidak
punya pilihan lain. Mari kita selesaikan apa yang kita mulai.”
**
Mereka mulai bergerak menyusuri tanah hitam yang tidak bersuara,
langkah-langkah mereka seolah diserap oleh permukaan yang mereka
injak. Semakin jauh mereka berjalan, semakin terasa kekuatan aneh
yang menyelimuti tempat itu. Angin yang dingin membawa
bisikan-bisikan halus, seakan-akan suara jiwa-jiwa yang tersesat
di dalam dimensi ini selama berabad-abad.
“Tetap waspada,” kata Samuel, memperingatkan mereka. “Kita belum
tahu apa yang menunggu di depan.”
Tiba-tiba, dari kejauhan, terlihat cahaya kecil yang berdenyut
pelan, seolah-olah memberi petunjuk ke arah yang harus mereka
tuju. Cahaya itu berasal dari struktur besar yang tampak seperti
menara, menjulang tinggi di tengah kegelapan. Menara itu
dikelilingi oleh bayangan-bayangan yang bergerak pelan,
seakan-akan menjaga pintu masuknya.
“Apa itu?” tanya Julia, matanya menajam saat melihat
bayangan-bayangan itu.
“Itu adalah penjaga yang sesungguhnya,” jawab Samuel.
“Bayangan-bayangan yang kalian hadapi di kuil hanyalah sebagian
kecil dari mereka. Penjaga ini tidak akan membiarkan siapa pun
masuk tanpa ujian terakhir.”
Mira meneguk ludah, suaranya pelan tapi penuh tekad. “Jika ini
adalah akhir dari perjalanan kita, maka kita harus siap menghadapi
apa pun yang ada di depan.”
Dr. Edelstein mengamati bayangan-bayangan itu dengan seksama,
memperhatikan pola gerakan mereka. “Kita tidak bisa melawan mereka
secara langsung, bukan?”
Samuel menggeleng. “Mereka adalah manifestasi dari dimensi ini.
Kalian tidak bisa melawan bayangan dengan kekuatan fisik. Kalian
harus melawan dengan kekuatan batin.”
Adrian mengerutkan kening, mengingat apa yang telah mereka
pelajari dari Cermin Bayangan. “Jadi, kita harus menghadapi diri
kita sendiri lagi?”
“Tidak hanya diri kalian sendiri,” jawab Samuel. “Tapi juga segala
sesuatu yang kalian takutkan. Ini adalah ujian akhir. Jika kalian
tidak berhasil, kalian tidak akan pernah keluar dari sini.”
**
Mereka terus berjalan mendekati menara, bayangan penjaga semakin
nyata di depan mereka. Setiap langkah terasa lebih berat,
seolah-olah energi mereka tersedot oleh dimensi ini. Saat mereka
akhirnya berdiri di depan pintu menara yang menjulang tinggi,
bayangan-bayangan mulai bergerak, mengelilingi mereka dengan
kecepatan yang menakutkan.
Tiba-tiba, mereka dikelilingi oleh kegelapan total. Tidak ada lagi
langit abu-abu, tidak ada tanah hitam, hanya kekosongan yang
mencekam.
Suara Samuel terdengar, meskipun ia tak terlihat. “Ini saatnya
ujian terakhir. Hanya dengan menerima kegelapan di dalam diri
kalian, kalian bisa menemukan jalan keluar.”
Adrian, Julia, Mira, dan Dr. Edelstein berdiri terdiam, menunggu
apa yang akan terjadi. Lalu, satu per satu, mereka mulai melihat
bayangan diri mereka sendiri lagi, tapi kali ini lebih besar,
lebih kuat, dan lebih menyeramkan. Setiap bayangan mewakili
ketakutan terdalam mereka, memanifestasikan diri dalam bentuk yang
paling menakutkan.
Julia melihat sosok dirinya yang dipenuhi luka dan bekas-bekas
kegagalan. Bayangan itu tertawa dengan suara yang memekakkan
telinga, seolah-olah menikmati setiap kesalahan yang pernah ia
buat. “Kau tidak pernah cukup baik,” ejek bayangan itu.
Mira melihat dirinya yang kehilangan semangat hidup, terpuruk
dalam kekosongan, tanpa tujuan. “Tidak ada yang tersisa bagimu.
Kau sudah kehilangan semuanya,” kata bayangan itu dengan suara
yang berat.
Adrian, di sisi lain, melihat sosok dirinya yang lemah, terjebak
dalam ketakutan dan keraguan yang tak pernah hilang. “Kau selalu
ragu. Kau tidak pernah bisa membuat keputusan yang benar,” bisik
bayangannya.
Namun, kali ini mereka tidak bisa mundur. Mereka harus menghadapi
bayangan-bayangan itu, atau selamanya terperangkap dalam dimensi
kegelapan.
Dengan hati yang dipenuhi tekad, mereka bersiap menghadapi
ketakutan terdalam mereka, sambil berharap bahwa mereka akan
menemukan kekuatan untuk melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan
dan membawa kembali cahaya yang hilang.
Bayangan diri mereka mengelilingi dalam kegelapan pekat,
menciptakan suasana mencekam yang seolah menyerap setiap harapan.
Setiap sosok bayangan tampak begitu nyata, seakan mencerminkan
kelemahan dan ketakutan yang paling dalam dari hati mereka. Dalam
keheningan yang mencekik, napas Adrian, Julia, Mira, dan Dr.
Edelstein bergetar, seolah kehadiran bayangan itu perlahan-lahan
menguras kekuatan mereka.
“Kau tidak akan pernah cukup kuat,” suara bayangan Julia terdengar
lagi, lebih tajam, penuh kebencian. “Setiap keputusan yang kau
buat hanya membawa lebih banyak penderitaan.”
Julia menatap bayangan itu dengan tatapan keras, tetapi hatinya
mulai dipenuhi keraguan. Ia merasa seolah-olah bayangan itu benar.
Seumur hidupnya, Julia selalu meragukan dirinya, meski berusaha
keras menjadi kuat. Kegagalan dan keraguan menghantuinya di setiap
sudut. Kini, di hadapan bayangan dirinya, semua itu terasa begitu
jelas dan nyata.
Namun, di tengah keterpurukan, ia mendengar suara lembut tapi
tegas, suara Mira. “Jangan dengarkan mereka. Ini bukan tentang
kesalahan kita—ini tentang bagaimana kita bangkit dari kesalahan
itu.”
Mira sendiri berjuang dengan bayangan dirinya yang merendahkan dan
mencemooh segala harapan. “Kau sudah terlalu jauh. Kau tak akan
pernah kembali seperti semula.” Suara bayangan itu mengandung
kepedihan yang mengguncang jiwa, namun Mira, meskipun ketakutan,
tidak gentar.
“Kita semua pernah jatuh,” lanjutnya dengan suara yang semakin
kuat. “Tapi ini bukan tentang jatuh, ini tentang bagaimana kita
bangkit. Ketakutan kita tidak mendefinisikan siapa kita.”
Adrian, yang berdiri di dekatnya, mendengar kata-kata itu dan
merasa kekuatan yang dulu hilang mulai kembali. Ia menatap
bayangannya sendiri, wajah yang dipenuhi dengan keraguan dan
kecemasan. “Aku telah menghindar terlalu lama. Aku membiarkan rasa
takut mengendalikan setiap langkahku.” Perlahan tapi pasti, Adrian
menyadari bahwa untuk mengatasi bayangan ini, ia harus menerima
ketakutannya, bukan menghindarinya.
"Aku mungkin takut," katanya dengan lantang, suaranya menggema
dalam kekosongan. "Tapi aku tidak akan membiarkan rasa takut
mendikte hidupku lagi."
Bayangan Adrian mengerutkan kening, tetapi seiring dengan
keteguhan hatinya, sosok itu mulai memudar, seolah kekuatannya
terkuras oleh penerimaan Adrian akan dirinya sendiri. Cahaya kecil
mulai bersinar dari tubuh Adrian, menerangi sekitarnya dan
mendorong bayangan itu semakin jauh.
**
Julia memandang Adrian dengan rasa kagum, lalu berbalik menghadap
bayangannya sendiri. Dengan tekad yang baru, ia berkata, "Aku
mungkin gagal di masa lalu, tapi itu bukan alasan untuk menyerah.
Aku tidak sempurna, tapi aku tidak akan membiarkan kegagalanku
mendefinisikan diriku."
Seiring dengan perkataannya, bayangan Julia mulai pecah seperti
kaca yang retak, memudar ke dalam kegelapan yang menelan dirinya.
Mira pun menghadapi bayangannya, sosok yang mengingatkannya akan
kekalahan, kehilangan, dan rasa putus asa yang telah menggerogoti
semangat hidupnya. Namun kali ini, dengan kekuatan yang ia
dapatkan dari teman-temannya, ia berkata, "Aku pernah kehilangan
banyak, tapi aku tidak akan menyerah pada keputusasaan. Aku masih
punya tujuan, dan itu cukup untuk membuatku terus maju." Dengan
setiap kata yang keluar dari mulutnya, bayangannya semakin melemah
hingga akhirnya hilang dalam kabut kelabu.
**
Dr. Edelstein, yang selama ini diam dalam kegelapan, perlahan
mengangkat kepalanya. Bayangannya—sosok dirinya yang penuh dengan
kepalsuan dan kebanggaan yang hampa—berdiri di depannya,
menantangnya dengan tatapan dingin. “Kau hidup dalam ilusi
kontrol,” ejek bayangan itu. “Seluruh hidupmu dihabiskan untuk
membangun kekuasaan, tapi pada akhirnya, kau hanya manusia yang
tak berdaya.”
Dr. Edelstein menatap balik bayangannya, dan untuk pertama
kalinya, ia menyadari bahwa di balik semua ilmunya, ada keraguan
dan rasa takut yang tidak pernah ia akui. Tapi hari ini, ia
menolak untuk membiarkan itu menguasainya.
"Ilmu, kekuasaan—itu semua penting. Tapi yang lebih penting adalah
hati yang tak gentar." Suaranya tenang, namun penuh keyakinan.
"Dan aku masih punya hati yang kuat."
Bayangannya pun mulai terpecah, berangsur-angsur hancur hingga
lenyap sepenuhnya.
**
Saat keempatnya berhasil mengatasi ujian batin mereka, cahaya
perlahan kembali menyelimuti dimensi kegelapan itu. Mereka
merasakan energi baru mengalir dalam diri mereka, kekuatan yang
tidak mereka sadari sebelumnya.
Samuel, yang selama ini mengamati dari kejauhan, muncul dari
kegelapan dengan senyuman kecil di wajahnya. “Kalian sudah
membuktikan diri. Kalian telah berhasil melalui ujian terakhir.
Sekarang, menara itu adalah milik kalian.”
Mereka memandang menara yang menjulang di hadapan mereka, pintu
besarnya kini terbuka, memancarkan cahaya yang menembus kegelapan
di sekitarnya.
“Di balik pintu itu,” lanjut Samuel, “adalah inti dari dimensi
ini. Itu adalah sumber kegelapan yang telah merembes ke dunia
kita. Selesaikan apa yang kalian mulai, dan kembalikan
keseimbangan.”
Dengan langkah penuh keyakinan, Adrian, Julia, Mira, dan Dr.
Edelstein berjalan menuju menara, bersiap untuk menghadapi
tantangan terakhir yang menanti mereka di dalam.
Kegelapan mungkin masih menyelimuti mereka, tapi kini mereka
membawa cahaya yang telah mereka temukan di dalam diri
masing-masing.
Suara pintu menara raksasa yang berderit saat terbuka mengisi
udara, memecah kesunyian yang menekan di sekitar mereka. Cahaya
lembut namun dingin mengalir keluar dari dalam menara, memandikan
Adrian, Julia, Mira, dan Dr. Edelstein dalam kilauan keperakan
yang tidak wajar. Setiap langkah mereka terasa seperti menapaki
ujung dunia, di mana kekuatan besar dan kegelapan murni menunggu.
Di dalam menara, suasananya jauh berbeda dari yang mereka
bayangkan. Dinding-dinding batu berlapis bayangan berkilauan,
seolah-olah hidup dan bernafas dalam kesuraman. Lantai hitam
berkilat seperti cermin, memantulkan sosok mereka yang berjalan
dengan penuh waspada. Di pusat ruangan utama, sebuah tangga
melingkar menjulang ke langit-langit yang tampak tak berujung.
Samuel berdiri di pintu masuk, membiarkan mereka melangkah lebih
dalam. “Ingatlah,” ia memperingatkan dengan nada penuh perhatian,
“di ujung jalan ini, kalian akan menemukan Jantung Kegelapan.
Tidak ada jalan kembali setelah itu.”
Adrian menoleh sejenak, menatap Samuel yang tetap di belakang.
“Kau tidak ikut dengan kami?”
Samuel hanya tersenyum samar, matanya bersinar misterius. “Ini
bukan perjalananku untuk diselesaikan. Aku sudah terlalu lama
terikat pada dimensi ini. Kalian adalah kunci untuk mengakhiri
semuanya.”
Julia, yang masih merasa tidak yakin dengan Samuel, menatapnya
sebentar sebelum berkata, “Baiklah. Jika ini adalah ujung dari
semua ini, kita akan menghadapi apa pun yang menanti.”
**
Mereka mulai menaiki tangga melingkar dengan hati-hati,
masing-masing merasakan beban yang semakin berat seiring langkah
mereka naik. Udara di sekitar semakin dingin, hampir membekukan,
namun anehnya, tubuh mereka terasa lebih ringan, seolah gravitasi
di tempat ini mengikuti aturan yang berbeda.
Setiap langkah membawa mereka lebih dekat pada sesuatu yang terasa
seperti pusat dari segala sesuatu—sebuah kekuatan yang begitu kuat
dan gelap sehingga bahkan udara di sekitar terasa menebal oleh
keberadaannya. Bisikan-bisikan halus mulai terdengar, suara samar
yang berputar di kepala mereka, seakan berasal dari kedalaman
dimensi itu sendiri.
Mira menoleh ke Adrian. “Apa kau mendengar itu?” tanyanya,
suaranya bergetar.
Adrian mengangguk, meski merasa tidak nyaman. “Suara-suara...
seakan mereka memanggil kita.”
“Mereka tahu kita di sini,” bisik Dr. Edelstein. “Kegelapan ini
bukan hanya energi, tapi kesadaran. Ia tahu bahwa kita
mendekatinya.”
Semakin tinggi mereka melangkah, semakin kuat bisikan itu, berubah
menjadi suara-suara yang lebih jelas. Ada ketakutan, kebencian,
dan keraguan yang membaur dalam setiap kata yang tak bisa mereka
pahami sepenuhnya. Namun, di antara kekacauan suara itu, ada satu
pesan yang perlahan menjadi semakin jelas.
“Kembalikan keseimbangan… atau binasa…”
**
Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa tak berujung, mereka tiba
di puncak menara. Sebuah ruangan besar dan melingkar terbuka di
hadapan mereka. Di tengah ruangan, Jantung Kegelapan berdetak
perlahan, seolah menjadi pusat kehidupan dari seluruh dimensi.
Jantung itu bukan seperti organ biologis, melainkan sebuah bola
cahaya hitam pekat yang berdenyut, dikelilingi oleh kilatan energi
yang merambat ke segala arah, seperti saraf yang tak kasat mata.
Mira menahan napas. “Jadi… itu Jantung Kegelapan?”
Adrian mengangguk, matanya terpaku pada pemandangan menakjubkan di
depan mereka. “Ya. Itu sumber dari semua ini.”
Julia menggenggam pedangnya lebih erat, pandangannya tak
teralihkan dari jantung yang berdenyut. “Dan sekarang apa?
Bagaimana kita menghentikannya?”
Dr. Edelstein melangkah maju, matanya tajam dan penuh perhitungan.
“Kita harus memutuskan aliran energi kegelapan. Namun, ini bukan
hanya soal menghancurkannya secara fisik. Ini adalah tentang
keseimbangan. Jika kita hanya menghancurkan tanpa memahami, kita
bisa membuat dunia kita lebih buruk.”
Samuel, yang tiba-tiba muncul di ujung tangga, berjalan perlahan
mendekati mereka. “Dr. Edelstein benar. Dimensi ini dan dunia
kalian terhubung. Kalian tidak bisa hanya memutus satu tanpa
mempengaruhi yang lain. Kalian harus menyeimbangkan dua
kekuatan—cahaya dan kegelapan.”
Adrian memandang Samuel dengan ragu. “Bagaimana caranya kita
melakukan itu?”
Samuel tersenyum tipis, lalu menjawab dengan suara rendah namun
penuh keyakinan, “Dengan menerima bahwa kalian adalah bagian dari
kedua dunia. Cahaya dan kegelapan ada dalam diri setiap orang.
Untuk menyeimbangkannya, kalian harus merangkul keduanya. Hanya
dengan memahami kegelapan di dalam diri kalian, kalian bisa
mengendalikan cahaya dan mencegah dimensi ini merenggut dunia
kalian.”
**
Kata-kata Samuel menggema dalam kepala Adrian, Julia, Mira, dan
Dr. Edelstein. Mereka menyadari bahwa ujian ini bukan hanya
tentang menghentikan kekuatan kegelapan, tetapi tentang bagaimana
mereka memahami dan menghadapinya.
Adrian menghela napas dalam-dalam, menatap Jantung Kegelapan yang
terus berdenyut dengan energi yang luar biasa. Ia sadar bahwa
seluruh hidupnya dihabiskan untuk menghindari kegelapan di dalam
dirinya—rasa takut, ragu, dan kegagalan. Tapi sekarang, ia tahu
bahwa jalan keluarnya bukan dengan melarikan diri, melainkan
menerima itu semua sebagai bagian dari dirinya.
Julia melangkah maju, pedangnya berkilat lemah dalam cahaya hitam
di ruangan itu. “Ini tentang menerima siapa kita sebenarnya. Kita
tidak bisa menghapus kegelapan sepenuhnya, tapi kita bisa
menyeimbangkannya.”
Mira, dengan pandangan tajam, mengangguk. “Kita telah datang
sejauh ini. Kita tidak boleh gagal sekarang.”
Dr. Edelstein memandang mereka semua dengan bangga. “Kita punya
kekuatan untuk menyeimbangkan ini. Tapi kita harus melakukannya
bersama.”
Dengan hati yang penuh tekad, mereka bergerak bersama ke tengah
ruangan, di mana Jantung Kegelapan terus berdetak dengan
intensitas yang menggetarkan. Masing-masing dari mereka tahu bahwa
inilah saatnya untuk bertindak. Ini adalah momen penentuan—bukan
hanya untuk mereka, tapi untuk dunia yang mereka tinggalkan di
belakang.
Samuel berdiri di tepi ruangan, mengamati mereka dengan pandangan
yang dalam. “Ingat, kalian adalah cahaya sekaligus kegelapan.
Kalian adalah keseimbangan yang dibutuhkan dunia ini.”
Adrian, Julia, Mira, dan Dr. Edelstein mengulurkan tangan mereka
menuju Jantung Kegelapan, merasakan energi yang berputar di
sekelilingnya. Dalam diam, mereka merasakan bahwa inilah saatnya
untuk menyeimbangkan kedua dunia. Cahaya dari dalam diri mereka
mulai bersinar, bercampur dengan energi hitam dari jantung,
menciptakan harmoni yang indah antara kegelapan dan terang.
**
Dengan satu dorongan terakhir, mereka melepaskan energi mereka ke
dalam Jantung Kegelapan. Sebuah ledakan cahaya yang luar biasa
terjadi, menggetarkan menara dan seluruh dimensi. Namun, itu bukan
cahaya yang menghancurkan, melainkan cahaya yang memurnikan,
menyeimbangkan setiap elemen di sekitarnya.
Ketika ledakan itu mereda, mereka mendapati diri mereka berdiri di
dalam ruangan yang kini dipenuhi oleh sinar lembut. Jantung
Kegelapan masih ada, tapi kini ia berdetak dengan tenang, dalam
harmoni sempurna. Mereka telah berhasil. Dunia dan dimensi ini
kini berada dalam keseimbangan.
Setelah ledakan cahaya yang menyilaukan mereda, ruangan tempat
mereka berdiri terasa sunyi. Jantung Kegelapan yang sebelumnya
berdenyut keras kini berdetak dengan lembut, seolah-olah tenang
untuk pertama kalinya. Udara yang dingin perlahan menghangat, dan
energi yang sebelumnya mencekam mulai berubah menjadi lebih
seimbang, harmonis.
Adrian, Julia, Mira, dan Dr. Edelstein saling memandang dalam
keheningan. Mereka merasakan bahwa sesuatu yang besar telah
berakhir, namun mereka juga tahu bahwa apa yang mereka lakukan
hanyalah awal dari perjalanan yang lebih panjang.
“Kita berhasil,” gumam Mira dengan suara lirih, seakan tidak
percaya. Dia melepaskan napas panjang yang tertahan, matanya
berkilauan oleh emosi yang bercampur.
Julia memeriksa pedangnya, yang kini tampak lebih ringan di
tangannya. “Tapi apa artinya ini bagi dunia kita?” tanyanya.
“Apakah semuanya sudah selesai?”
Dr. Edelstein, yang sejak tadi mengamati Jantung Kegelapan dengan
pandangan penuh pertimbangan, menjawab dengan tenang, “Tidak ada
yang benar-benar berakhir, Julia. Keseimbangan telah dikembalikan,
tapi perubahan ini membutuhkan waktu untuk terwujud di dunia kita.
Ini bukan kemenangan yang instan.”
Adrian berdiri diam sejenak, matanya terfokus pada Jantung
Kegelapan yang kini tenang. Pikirannya melayang ke semua yang
telah mereka lalui—semua pengorbanan, ketakutan, dan kegelapan
yang mereka hadapi. Dia tahu bahwa meskipun mereka telah
menyeimbangkan kekuatan ini, perjalanan mereka masih jauh dari
selesai.
Samuel, yang selama ini mengamati dari kejauhan, melangkah
mendekat. “Kalian semua telah melakukan apa yang tidak banyak
orang bisa lakukan. Kalian menerima bahwa baik cahaya maupun
kegelapan adalah bagian dari diri kalian. Itulah kekuatan
sebenarnya.”
Adrian mengangguk pelan. “Dan sekarang apa, Samuel? Apa yang
terjadi selanjutnya?”
Samuel tersenyum kecil, namun tatapan matanya penuh rahasia.
“Kalian kembali ke dunia kalian, membawa keseimbangan ini. Namun,
ingatlah, menjaga keseimbangan lebih sulit daripada mencapainya.
Dunia kalian masih rentan. Ini baru awal.”
**
Tiba-tiba, lantai di bawah kaki mereka mulai bergetar. Suara-suara
rendah memenuhi udara, seakan dimensi ini tahu bahwa waktunya
telah tiba untuk melepaskan mereka kembali ke dunia asal mereka.
Cahaya lembut mulai berpendar di sekitar mereka, menarik mereka
perlahan ke atas, menjauh dari Jantung Kegelapan.
“Apa yang terjadi?” seru Julia, memegang pedangnya erat.
“Dimensi ini melepaskan kita,” jawab Dr. Edelstein, matanya
menatap ke sekeliling dengan penuh perhitungan. “Kita kembali ke
dunia kita.”
Dalam sekejap, tubuh mereka terangkat oleh cahaya itu, melayang di
udara. Semuanya terasa ringan, seolah-olah beban dari semua yang
mereka alami mulai hilang. Angin lembut mengelilingi mereka saat
mereka ditarik kembali melalui celah waktu dan ruang, kembali ke
dunia yang telah lama mereka tinggalkan.
**
Saat mereka membuka mata, mereka menemukan diri mereka kembali di
reruntuhan kota tua, di tempat di mana perjalanan ini pertama kali
dimulai. Langit di atas mereka dipenuhi dengan bintang-bintang
yang berkedip lembut, dan udara malam terasa segar setelah berada
begitu lama di dalam kegelapan.
Mira menghela napas panjang, merasakan ketenangan yang jarang ia
temui selama perjalanan ini. “Kita... benar-benar kembali.”
Adrian berdiri dan merapikan mantelnya yang tertiup angin. “Tapi
sesuatu terasa berbeda. Dunia ini... sepertinya lebih tenang.”
Julia tersenyum kecil. “Mungkin itu karena kita sudah tidak lagi
dikejar oleh kegelapan.”
Dr. Edelstein mengamati langit sejenak sebelum berkata,
“Keseimbangan telah dipulihkan, dan dunia ini perlahan-lahan akan
berubah. Tapi kita harus siap menghadapi apa pun yang datang
selanjutnya. Kegelapan mungkin tidak lagi mendominasi, tapi itu
tidak berarti bahaya sudah selesai.”
Samuel, yang entah bagaimana juga telah kembali bersama mereka,
mengangguk. “Kalian telah membawa dunia ini kembali dari tepi
kehancuran. Tapi selalu ada harga untuk setiap tindakan besar.
Kalian harus siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.”
Adrian menatap Samuel. “Dan apa yang akan terjadi padamu?”
Samuel tersenyum samar, lalu melangkah mundur, seolah
perlahan-lahan memudar dari pandangan mereka. “Tugasku di sini
selesai. Kalian yang harus menjaga keseimbangan ini sekarang.
Dunia ini adalah milik kalian, dan kalian harus melindunginya.”
Sebelum ada yang bisa berkata apa-apa, Samuel menghilang dalam
kegelapan malam, meninggalkan mereka dengan rasa lega sekaligus
kewaspadaan akan apa yang mungkin menunggu di depan.
**
Malam itu terasa lebih tenang daripada sebelumnya. Mereka duduk di
reruntuhan, merasakan damai yang jarang mereka temukan. Namun,
meskipun kedamaian itu nyata, ada perasaan dalam hati mereka bahwa
perjalanan ini baru saja dimulai.
“Kita berhasil,” kata Adrian pelan, mengulangi kata-kata yang
sebelumnya diucapkan Mira.
“Tapi kita harus tetap waspada,” jawab Julia. “Kita tidak tahu apa
yang menunggu kita.”
Dr. Edelstein, dengan pandangan yang jauh, menyimpulkan, “Setiap
kemenangan membawa tantangan baru. Kita siap.”
Dengan pandangan ke masa depan yang penuh ketidakpastian, mereka
bersiap untuk menghadapi hari-hari berikutnya. Kegelapan telah
kembali ke tempatnya, tapi cahaya yang mereka bawa harus dijaga
agar tetap bersinar.
Fajar perlahan menyingsing di cakrawala, mengusir sisa-sisa
kegelapan malam. Cahaya pertama hari itu memandikan reruntuhan
dengan kilauan keemasan, memberi dunia di sekitar Adrian, Julia,
Mira, dan Dr. Edelstein suasana yang lebih damai dari yang pernah
mereka rasakan. Mereka berdiri di tengah-tengah reruntuhan,
menyadari bahwa misi mereka telah membawa perubahan, meski kecil,
pada dunia mereka.
Adrian menatap matahari terbit dengan mata yang penuh harapan,
tapi juga kesadaran bahwa tugas mereka belum selesai. "Semuanya
terasa... berbeda, tapi aku tidak bisa menghilangkan perasaan
bahwa ini baru permulaan," katanya dengan suara pelan namun
mantap.
Julia, yang berdiri di sampingnya, mengangguk. "Kegelapan itu
mungkin sudah tertahan untuk saat ini, tapi aku setuju. Perubahan
besar seperti ini tidak datang tanpa konsekuensi."
Mira tersenyum tipis, menggenggam erat kamera tuanya yang selalu
menemaninya. “Ini bukan akhir dari cerita, hanya bab yang baru.
Dunia ini memiliki lebih banyak rahasia daripada yang kita
sadari.”
Dr. Edelstein menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi ketenangan
dan kewaspadaan. "Keseimbangan telah dipulihkan, tapi menjaga
keseimbangan adalah pekerjaan yang lebih sulit daripada
mencapainya. Kita telah membangkitkan kekuatan yang tak
terelakkan, dan kekuatan itu akan terus menguji kita."
**
Saat mereka mulai meninggalkan reruntuhan, mereka disambut oleh
kehadiran yang tidak asing lagi—Cermin Bayangan. Kini lebih jelas
terlihat, cermin itu berdiri tegak di salah satu sudut reruntuhan,
memantulkan bayangan mereka dengan sempurna. Adrian melangkah
lebih dekat, merasakan ketertarikan aneh yang tidak bisa ia
abaikan.
"Kau tahu apa ini, bukan?" tanya Julia, mendekat sambil mengamati
cermin dengan hati-hati.
Dr. Edelstein menatap cermin itu dengan penuh pertimbangan.
"Cermin ini bukan hanya artefak biasa. Ini adalah penyeimbang
antara dimensi kita dan yang lain. Ia telah memantau kita sejak
awal, mencatat setiap langkah kita."
Mira menyentuh permukaan cermin dengan hati-hati, merasakan
getaran halus di bawah jari-jarinya. “Apakah ini juga ujian
terakhir kita?”
Adrian mengangguk. "Kemungkinan besar, kita akan diuji lagi, kali
ini dalam cara yang lebih halus. Cermin Bayangan tidak sekadar
memantulkan dunia kita—ia juga mencerminkan siapa kita sebenarnya.
Apa yang kita lakukan di sini akan menentukan bagaimana dunia ini
berubah."
Samuel, yang tiba-tiba muncul kembali dari bayangan, tersenyum.
"Cermin itu adalah titik persimpangan. Kalian telah membuka jalur
baru, tapi keputusan terakhir ada pada kalian. Cermin itu akan
menuntun kalian, jika kalian tahu cara memandang ke dalamnya."
Julia menatap Samuel dengan mata penuh curiga. "Kau bilang tugasmu
sudah selesai. Apa kau masih punya alasan untuk berada di sini?"
Samuel tertawa kecil, tapi tatapannya tetap penuh misteri.
"Tugasku tidak pernah benar-benar selesai. Aku hanyalah bagian
dari gambaran yang lebih besar. Kalian semua yang harus
menyelesaikan bagian terakhir dari ini."
**
Dengan perasaan cemas dan penasaran, Adrian menghadap Cermin
Bayangan. Dia bisa melihat dirinya, tapi di balik bayangan itu ada
sesuatu yang lebih dalam—sebuah refleksi dari semua ketakutan,
keraguan, dan kegelapan yang pernah dia hadapi.
"Cermin ini menunjukkan kebenaran, bukan?" gumam Adrian. "Bukan
hanya tentang dunia kita, tapi tentang diri kita juga."
Samuel mengangguk. "Itu benar. Ini adalah ujian
terakhir—penerimaan terhadap siapa kalian sebenarnya. Hanya dengan
melihat ke dalam diri kalian dan memahami sepenuhnya baik cahaya
maupun kegelapan yang ada di sana, kalian bisa melanjutkan
perjalanan ini."
Adrian menutup matanya sejenak, merasakan beban berat di dalam
hatinya. Semua keraguan yang dia coba lupakan kini kembali
menghantuinya. Tapi dia tahu, untuk melangkah maju, dia harus
menghadapi semuanya.
Julia, Mira, dan Dr. Edelstein mendekat, masing-masing merasakan
hal yang sama—tantangan terakhir yang tidak bisa mereka hindari.
**
Satu per satu, mereka berdiri di depan cermin, menghadapi bayangan
diri mereka sendiri. Setiap pantulan menunjukkan kebenaran yang
mendalam—kegelapan yang pernah mereka takuti, tapi juga kekuatan
yang lahir dari penerimaan terhadap kekurangan mereka.
Mira tersenyum kecil setelah menatap cermin cukup lama. “Kita
bukan hanya apa yang terlihat di permukaan. Kita lebih dari itu.”
Julia menggenggam pedangnya erat, merasa lega setelah menghadapi
refleksinya sendiri. “Dan itulah yang membuat kita kuat.”
Dr. Edelstein menatap cermin dengan tenang, sebelum akhirnya
berkata, “Setiap refleksi adalah pelajaran, tapi yang penting
adalah bagaimana kita menggunakannya.”
Samuel, yang telah mengamati semuanya dengan seksama, mengangguk
dengan puas. "Kalian telah melihat ke dalam diri kalian. Kalian
telah menemukan keseimbangan yang sejati. Sekarang, kalian siap
melangkah maju."
**
Cermin Bayangan mulai memudar, perlahan-lahan hilang dalam cahaya
pagi yang semakin cerah. Mereka semua merasakan perubahan dalam
diri mereka—perasaan damai dan kejelasan yang baru. Adrian, Julia,
Mira, dan Dr. Edelstein tahu bahwa perjalanan mereka belum
selesai, tapi mereka kini memiliki pemahaman yang lebih mendalam
tentang diri mereka sendiri dan dunia yang mereka jaga.
Dengan semangat baru dan tekad yang diperkuat, mereka meninggalkan
reruntuhan untuk terakhir kalinya. Samuel, yang kini benar-benar
memudar dari pandangan mereka, memberi isyarat perpisahan
terakhir.
"Jaga dunia ini," katanya, suaranya terdengar jauh, "dan jaga
keseimbangan."
**
Dengan langkah yang lebih ringan, mereka memulai perjalanan
baru—bukan lagi sebagai penjelajah yang tersesat dalam kegelapan,
tapi sebagai pelindung dunia yang telah mereka selamatkan. Mereka
tahu bahwa tantangan lain pasti akan datang, tapi kali ini, mereka
siap.